30 Jun 2009

Walhi dan Arpag Tolak REDD

Dinilai Masih Belum Jelas dan Tidak Berkeadilan Iklim

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Program dunia tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi atau Reducion Emition from Deforestation dan Degration (REDD) yang semakin intensif akhir-akhir ini, mendapat penolakan dari dari Wahana Lingkungan Hidup Indoensia (Walhi). Penolakan juga datang dari masyarakat korban proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar.
Menurut Direktur Walhi Kalteng Ari Rompas, mekanisme yang ditawarkan dalam program REDD masih simpang siur dan ada kecenderungan akan terjadi perdagangan karbon, dimana hutan Indonesia akan diperdagangkan (offset). Sementara negara-negara maju yang membiayani program REDD, merupakan negara penyumbang gas emisi yang menyebabkan meningkatnya efek gas rumah kaca sehinga terjadinya perubahan iklim tidak mau mengurangi emisi dari aktivitas industri.
”Indonesia disuruh menjaga hutanya dengan mekanisme pembiyaan negara maju dari pelestarian hutan di Indonesia. Namun, justru negara-negara maju tersebut tidak mau mengurangi emisi dari aktivitas industri, padahal hampir 80 persen emisi karbon dan efek rumah kaca banyak berasal dari aktivitas industri negara maju,” ujarnya, di Palangka Raya, Selasa (30/6) kemarin.
Rio menandaskan, mekanismenya yang tidak secara tegas melibatkan penduduk sekitar kawasan, bagaimana akses masyarakat terhadap kawasan, siapa yang mengelola dana karbonya dan bagaimana status hukumnya dan banyak lagi yang masih perlu dikaji.
“Dengan demikian kiranya penting untuk melakukan pemangkasan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. (REDD) karean dampak dari perubahan iklim sangat mencama keberaljutan kehidupan manusia dan berpengaruh terhadap hampir semua aspek kehidupan manusia di bumi,” jelas Ari Rompas yang akrap disapa Rio ini.
Meski, demikian ucapnya, secara organisatoris WALHI telah menyepakati bahwa target besar kampanye perubahan iklim adalah mewujudkan keadilan iklim (climate justice). Keadilan iklim merupakan hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi atas prinsip-prinsip keselamatan rakyat. Pemulihan keberlanjutan layanan alam, dan perlindungan produktifitas rakyat dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang berhak terselamatkan akibat dampak perubahan iklim dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim secara berkeadilan.
Sementara itu, Aliansi Rakyat Pengelola Gambut (ARPAG), diwakili Koesnadi Wirasaputra menilai, pembicaraan tentang perubahan iklim pada tahun ini akan menemui titik terpentingnya. Perubahan iklim telah menjadi bukti dari kegagalan model pembangunan oleh regime global yang dilakukan selama ini. Namun solusi yang dibangun melalui UNFCCC tidak pernah bisa menjadi solusi ril atas penyelesaian permasalahan perubahan iklim.
”Sebagaimana kita ketahui, seminar nasional program pemangkasan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta tata kelola ekonomi dan lingkungan, di Palangka Raya, kemarin, salah satu hasil yang dicapai akan dibawa dalam pertemuan pembahasan REDD di forum konferensi UNFCCC pada COP 15 di Compenhagen pada Desember 2009 mendatang,” Koesnadi.
Koesnadi menandaskan, komitmen negara maju dalam memotong emisi dari aktivitas industri kembali dipertanyakan dan dibicarakan pada pertemuan tersebut. ”Sebagai negara yang termasuk rentan terhadap perubahan iklim, ARPAG merasa penting sebagai bagian dari Rakyat Indonesia mencermati arah pembicaraan negosiasi yang menintikberatkan pada ekspansi industri destruktif dibalik upaya penyelamatan bumi,” tandasnya.
Dikemukakannya, salah satu daerah yang menjadi pilot project REDD adalah lahan gambut eks PLG sejuta hektar. Upaya penyelamatan hak atas kekayaan alam gambut adalah penting dan dijamin oleh Konstitusi Negara UUD 1945, dimana, rakyat berhak mendapatkan sumber kekayaan alam untuk kesejahteraan dan kedaulatan, menuju masyarakat damai dan sejahtera.
”Kami bertekad mewujudkan tatanan masyarakat baru berdasarkan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial, kedaulatan atas sumberdaya kekayaan gambut, kemandirian ekonomi dan Kelestarian gambut, dengan menghentikan semua aktivitas dan investasi yang merusak dan menggusur rakyat yang berdalih konservasi maupun industri tambang yang sudah jelas merusak tata air dan lingkungan hidup,” ucapnya.
Atas dasar mandat anggota-anggota ARPAG yang tersebar di 52 Desa, 2 Kabupaten di Kalimantan Tengah sebagai Organisasi Rakyat yang dilindungi oleh UUD 1945, tersebut katanya, maka ARPAG menilai dan memberikan sikap serta pandangan atas putaran forum UNFCCC menuju Copenhagen Desember 2009 yang sedang berlangsung saat ini.
Oleh karennya, Koesnadi menghargai apa yang sedang di upayakan oleh dunia International untuk menyelamatkan Bumi planet ini. Namun demikian, katanya Arpag secara sadar dan bertanggungjawab melakukan monitoring, komunikasi dan mengambil sikap atas apa yang sedang terjadi pada forum International UNFCCC, sambil berupaya melakukan penyelamatan sumberdaya gambut, melalui penanaman pohon hutan gambut, rehabilitasi kebun rotan, kebun karet, kebun purun, kolam ikan tradisional, mencetak sawah tradisional, menjaga hutan adat 200.000 hektar, membangun sekolah gambut dan melakukan dialog strategis dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat serta jaringan kerja NGO di dalam dan luar negeri.
”Namun demikian, ARPAG dengan tegas menolak dan membatalkan usulan kawasan konservasi Taman Nasional MAWAS di eks PLG 1 juta hektar. Proyek ini mengancam keberadaan hak-hak masyarakat lokal atas kekayaan sumberdaya gambut dan melakukan cara-cara intimidasi menggunakan aparat keamanan terhadap rakyat untuk melancarkan proyek. Padahal dalam kawasan calon konservasi sebagai kedok untuk melindungi potensi tambang Migas dan mineral lainnya,” pungkas Koesnadi. (*)

Tidak ada komentar: