26 Jun 2009

Banwaslu Anggap Kepolisian “Melempem”

Terkait Banyaknya Kasus Pidana Pemilu Yang Lolos Dari Jeratan Hukum

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Banyaknya kasus tindak pidana pemilu lolos dari jeratan hukum pada pemilu legislatif 9 April lalu dan kampanye presiden dan wakil presiden yang diluar jadwal. Dinilai Ketua Badan Pengawas Pemilu RI Nurhidayat Sardini, pihak kepolisian masih “melempam”.
Menurut Nurhidayat, banyak kasus yang sudah diajukan ke pihak kepolisian baik oleh Banwaslu RI, mapun Panwaslu Provinsi dan kabupaten/kota se-Indoesia yang tidak ditangani serus, dan dikembalikan yang akhirnya para pelaku tindak pidana pemilu lepas dari jeratan hukum.
“Padahal alat bukti, termasuk unsure juga sudah memenuhi. Tetapi okelah karena itu kewenangan lembaga penyidik yang memang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya, ketika ditemui disela-sela acara bimbingan teknis pengawasan pemilu presiden dan wakil presiden se-Kalteng, di Palangka Raya, Rabu (24/6) kemarin.
Dikemukakannya, sikap Banwaslu andaikan diberi kewenangan melakukan penyidikan oleh undang-undang tentu akan menindak lanjuti segala laporan. Namun karena kewenangan diberikan kepada pihak kepolisian tentunya pihak kepolisian lah yang berwenang.
”Seharusnya karena kewenangan diberikan kepada kepolisian, tentu yang menindak lanjuti segela bentuk laporan yang sudah disampaikan oleh Banwaslu, atau Panwaslu, adalah lembaga kepolisian. Sementara keweanangn kami hanya sebatas itu dengan melakukan pengawalan ataun pengawasan terhadap semua proses pemilu dilapangan, yang kemudian bila ada indikasi pelanggaran kemudian dilaporkan ke pihak kepolisian,” ungkapnya.
Menyinggung keterlibatan sejumlah pejabat BUMN yang terlibat dalam tim kampanye. Nurhidayat menegaskan Banwaslu RI serius menanganinya bahkan sejumlah nama telah dilaporkan ke Mabes Polri. ”Hari ini anggota Banwaslu yang juga sebagai saksi akan diminta kesaksiannya. Salah satunya Bapak Eka Bambang Cahya Widodo telah memberikan kesaksiannya, dan keterangannya telah di BAP di Mabes,” beber Nurhidayat.
Nurhidayat menandaskan, dalam kasus-kasus pemilu presiden dan wakil presiden banyak sekali yang harus diperhatikan, yang pertama soal tahapan pendaftaran pemilih, dimana disejumlah daerah masih ditemukan masalah. ”Kami menelisik ada sekitar 10-15 provinsi di Indonesia terkait DPT yang bermasalah. Namun, lambat laun juga bisa diselesaikan, meskipun secara umum masih belum sempurna,”tandasnya.
Selain soal DPT yang bermasalah, yang juga perlu diperhatikan, ucap Nurhidayat, terkait dana kampanye yang tidak transpran. ”Seperti mengulang pada pemilu yang lamapau oleh karena itu terus diwaspadai. Kami sudah perintahkan kepada panwaslu provinsi, kabupaten/kota dan juga termasuk tadi saya ungkapkan berulang-ulang banwaslu, panwaslu harus tetap mengawasinya,” imbuhnya.
Lebih lanjut dikemukakannya, penyalahgunakan jabatan dan kewenangan yang mengungat-nguatkan posisi sesorang sebagai pejabat publik atau pejabat preface, biasanya suka dicampur aduk kewenangan sebagai pejabat publik dengan kewenangan jabatan preface. Sebagai pejabat publik seharusnya netral karena fungsinya sebagai pelayan masyarakat dalam artian lebih luas.
Dibeberkaknya, penyalahgunaan jabatan oleh pejabat publik, paling kurang ada tiga hal, yakni penyalahgunaan syarana dan prasarana mobilisasi. Selain itu juga penggunaan sarana-sarana komunikasi yang ada di kantor , juga sarana-prasarana di kantor, seperti ruang pertemuan, ruang kerja dan pasilitas lainnya.
”Yang sering terjadi biasanya dalam rangka menyambut seorang pejabat partai politik pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pejabat publik kemudian mengkoordianasikan rapat-rapat dikantor yang tentunya merupakan pasilitas publik bukan pasilitas partai politik. Ini suatu tindakan yang tidak benarkan, dan melanggar daripada undang-undang tentang pemilu,” jelasnya.
Hal lain yang juga perlu diwaspadai, soal politik uang. Menurut Nurhidayat, politik uang rentan terjadi dikarena kondisi masyarakat yang belum terutungkan terutama daya beli masyarakat masih rendah sementara dikonotasi ada orang yang punya kepentingan untuk bisa menggunakan kesempatan ini untuk mobilisasi massa.
”Jadi bertemulah mereka yang punya uang, tapi membutuhkan suara, dengan mereka yang tidak punya uang tetapi punya suara. Itu lah transionalisasi suara, yang kita sebut dengan politik uang yang harus diwaspadi pada pemilu presiden mendatang,” katanya.
Lebih lanjut Nurhidayat, mengemukakan, yang juga diwaspadi dan diperlukan pengawasan semua elemn masyarkat termasuk media massa adanya upaya manipulasi suara. Manipulasi suara terutama ditingkat TPS kemudian sampai kepada PPK. Pengalaman pada pemilu 9 April lalu sangat jelas memperlihatkan adanya permaianan semacam itu.
”Dalam pemilu 9 April lalu memperlihatkan adanya ketidak beresan ditingkat bawah terkait dengan penenganan suara yang berakibatkan membludaknya semua masalah di PHPU yang kemudian berkahir di MK,” imbuh Nurhidayat. (*)

Tidak ada komentar: