30 Jun 2009

120 Juta Hektar Kawasan Hutan Berkurang


Akibat Alih Pungsi Kawasan Hutan

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Kawasan hutan Indoesia berkurang akibat alih fungsi kawasan mencapai 120 juta hektar atau sekitar 50 persen dari luas hutan di Inonesia. Kondisi tersebut sangat menghawatirkan, sementara tingkat keberhasilan penghijauan atau penamaman kembali hutan yang rusak hingga saat ini tidak mencapai 50 persen.
”Degradasi hutan mencapai 1 juta hektar pertahun. Sementara tingkat keberhasilan penghijauan atau penanaman kembali tidak sampai, atau lebih kurang 200 ribu hektar pertahun. Jadi setiap tahunnya, degradasi hutan tambah lama tambah berkurang,” ujar Ketua Tim Kunjungan Lapangan Spesifik Komisi IV DPR, ke-Kalteng Syrafi Hutahuruk, di Palangka Raya, Jumat (26/6) lalu.
Meski demikian, ucap Hutahuruk, penomena berkurangnya kawasan hutan akibat alih fungsi kawasan, tidak bisa dicegah. Namanun, untuk memperlabat kekurangan kawasan hutan yang terus meningkat sangat bisa dilakukan, hal tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang.
”Apakah revisi RTRWP Provinsi Kalteng dengan penomena kondisi hutan semacam ini tidak diteruskan. Sementara pemekaran terus berlanjut, baik pemekaran wilayah provinsi mapun pemekaran kabupaten/kota. Tentu tidak demikian, asalkan semua pihak arif dalam kebijakan penataan ruang,” ungkapnya.
Dimekukakannya pembanguna terus dilakukan, sering meningkatnya pembangunan, baik pembangunan ekonomi, ifrastruktur, pembangunan wilayah perkotaan mapun pedesaan yang tentu akan mengorbankan kawasan hutan.
”Beberapa waktu lalu saya mengikuti rapat, ada 50 daerah yang akan dimekarkan dan harus diputuskan. Kalu tidak salah empat diantaranya menjadi provinsi dan itu untuk pembangunan kota akan memakai kawasan hutan. Tetapi ini juga harus dibarengi dengan revisi tata ruang,” jelas Hutahuruk.
Menyinggung kapan waktu penyelesaian pembahasan RTRWP di DPR RI? Hutahuruk menegaskan, sebelum masa jabatan anggota DPR RI periode 20042009 selesai, pada bulan Agustus mendatang pembahasa RTRWP di tingkat DPR RI sudah selesai.
”Kalau ini selesai berarti merupakan sejarah bagi kita, kalau ini tidak selesai berarti terhambatlah pembangunan di daerah. Jdi mudah-mudahan kalau tidak ada halangan tanpa melanggar aturan yang ada, untuk tahun ini juga sudah selesai,” janji Komisi IV DPR RI.
Dijelaskannya, didalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007tentang Tata Ruang, mensyaratkan setiap kabupaten/kota telah menyelesaikan revisi tata ruang paling lambat tiga tahun. Sermentara Undang-Undng 32 tahun 3004 tentang Pmerintah Daerah mengatakan, penyelesaian tata rauang yang menyesuaikan dengan tata ruang provinsi selambat-lambatnya dua tahun.
”Berarti seharusnya, RTRWP Provinsi Kalteng telah berakhir tahun ini. Akan tetapi keterlambatan itu bukan disebabkan kelemahan dari pemerintah daerah, baik provinsi mapun kabupaten/kota tetapi keterlambatan ada di pemerintah pusat. Yang hingga saat ini belum ketemu titik temu penyelesaian antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dalam hal ini Menhut terkait TGHK,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, pembahasan dan pengesahan RTRWP melalui rantai koordinasi yang panjang, tak hanya di tangan Dephut tetapi juga dibahas di Departemen PU dan juga di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dimana BPKM sendiri diketuai oleh Menkoekoin, sedangkan ketua hariannya, Menteri PU.
”Domainnya adalah di Menteri PU, yang artinya pengesahan terakhir ada ditangan Menteri PU. Tetapi karena revisi tata ruang di wilayah kabupaten/kota menyangkut alih fungsi kawasan hutan, baik itu hutan produksi, hutan produksi terbatas. Apakah itu pemanfaatan hutan lindung, kawasan budi daya hutan, dan kawasan strategis lainnya menaji domain Menhut,” katanya.
Karena menjadi domain Menhut, katanya, maka pengesahan RTRWP Provinsi Kalteng oleh mentri PU menunggu keputusan dari Menhut terkait alih fungsi kawasan hutan. ”Namun menurut undang-undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah atau Menhut harus minta persetujuan dari DPR RI,” pungkasnya, seraya menegaskan pengesahan RTRWP tinggal menunggu hasil pembahasan dari Komisi IV DPR RI. (*)

Tidak ada komentar: