19 Jun 2010

PAN dan PPP Indikasikan Ada Penyimpangan

Dalam Pelaporan Penggunaan Dana Bansos yang Dinilai Buruk

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-Buruknya penilayan BPK RI terhadap laporan penggunaan anggaran di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), mengundang keprihatian sejumlah anggota fraksi di DPRD Kalteng. Seperti Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Anggota Fraksi PAN yang juga Ketua Komisi C DPRD Kalteng, membidangi Kesejahtraan Rakyat, Ade Sufriadi, mengungakpkan penyesalannya terhadap kepemimpinan di akhir jabatan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang yang mendapat penilayan paling buruk, tidak wajar (Adverse opinion) dari BPK RI terhadap laporan penggunaan anggaran negara di lingkungan pemerintah Provinsi Kalteng.
“Terkait dengan penilayan yang baru disampaikan oleh BPK RI, kita sangat menyayangkan kenapa ini bisa terjadi di akhir jabatan gubernur. Padahal laporan-laporan sebelumnya mendapat penilaian positif , yakni Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Ini perlu dikaji lebih lanjut sebagai bahan evaluasi, agar kedepan tidak terjadi lagi,” imbuhnya, ketika dibincangi Radar Sampit, Jumat (18/6).
Menurut Ade, dari laporan BPK RI, yang paling disorot mendapat penilayan paling buruk adalah pos anggaran dana hibah dan bantuan sosial. “Terkait dengan hal ini, beberapa waktu lalu kita telah memeinta koreksi kepada pemerintah terkait anggaran bantuan keagamaan. Kita tegaskan disana, kita meminta kepada eksekutif perlu adanya keterbukaan, akan tetapi hingga saat ini tidak ada realisasinya,” imbuhnya.
Ade mengungkapkan, dalam daftar bantuan hibah dan dana sosial untuk keagamaan dari awal tahun hingga pertengahan tahun 2010 telah dikeluarkan dana sebesar Rp. 1,9 miliar tanpa pertanggungjawababn yang jelas, dan hanya berdasarkan arahan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalteng.
“Pengeluaran yang seperti ini seharusnya jangan sampai terjadi, kerna sangat sulit mempertanggungjawabkannya. Kalau anggaran yang telah dikeluarkan Rp. 1,9 miliar tersebut untuk membangun Masjid, ya sebutkan saja Masjidnya, dimana letaknya dan berapa biayanya. Demikian halnya bantuan untuk pembangunan Gereja, juga harus disebutkan gereja apa, dan dimana letaknya, sehingga semuanya jelas,” beber Ade.
Memang, lanjut Ade, laporan pertanggungjawaban dana Bantuan Sosial lebih mudah mempertanggungjawabkannya di bandingkan mempertanggungjawabkan dana proyek. “Tetapi kemudiahan ini yang kemudian disalah gunakan dan rentan penyimpangannya. Misalnya harga Aqua Gelas Rp. 500, tetapi dalam laporannya ditunjukan dengan bukti-bukti nota pembelian Rp. 3.000, inlah yang disebutkan tidak wajar atau Adverse Opinion,” jelasnya.
Dana hibah dan bantuan sosial yang juga tidak jelas pertanggungjawababnya, beber Ade, adalah dana khususnya milik Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng sebesar Rp 89 miliar, yang pengelolaannya diserahkan kepada Biro Keuangan Setda Provinsi Kalteng.
“Dana ini hingga saat ini kita tidak tau, apakah dana tersebut ada rencana kerja anggaran (RKA) atau tidak ada. Kerna sampai saat ini pihak Dinas Pendidikan maupun Biro Keuangan sebagai pemegang kas tidak pernah membawa kita untuk membicarakannya RKA hibah dan bantuan itu. Bisa jadi ini yang disebutkan dalam laporan BPK RI tersebut,” bebernya.
Untuk mencegah terjadinya kebocoran dana, ucap Ade, pihaknya sebagai anggota dewan akan membicarakan dengan pihak eksekutif, bagaimana sitem pengelolaannya kedepan. “Mestinya walapun itu dana hibah dan bantuan sosial tetap dibikin perencanaan anggaran. Saya berkeyakinan ini sangat rentan kebocoran dana, kerna yang namnya dana hibah dan bantuan sosial itu cukup dengan persetujuan Gubernur dan Wakil Gubernur, dalam hal ini Sekda sebagai eksekutor didalamnya,” ucapnya.
Dia menambahkan, selain dana sosial untuk penanggulangan bencana, dana hibah dan dana sosial itu semuanya terparkir di Biro Keuangan Setda Provinsi Kalteng. “Tidak ada di SKPD, dinas dan badan. Jadi kalau ternyata nanti ada kebocoran, yang paling bertanggungjawab dengan pengunaan anggaran ini adalah Biro Keuangan Setda Provinsi Kalteng,” tambah Ade.
Sementara itu, Anggota Fraksi PPP DPRD Kalteng Komaruddin Hadi, menyarakan jika memang fakta laporan ditemukan ketidak wajaran, pihak eksekutif harus segera mengavaluasinya. Semenetara jika ditemukan adanya penyimpangan yang ekstrik, maka penyelesaianya harus dibawa ke ranah hukum.
“Maka oleh sebab itu, saya mengharapkan kepada Pemprov Kalteng, mengakomodir laporan tersebut dan memberi pemahaman kepada SKPD dan di Lingkungan Pemprov Kalteng tentang penggunaan anggaran negara baik yang berasal dari APBD mapun dari APBN, supaya mereka tau Tupfoksinya mereka masing-masing sehingga mereka tau apakah sudah benar atau tidak yang dilakukan selama ini,” ungkapnya.
Jika memeperhatikan laporan BPK RI, lanjutnya, yang menjadi sorotan adalah bantuan hibah dan dana sosial. “Kalau dikaitkan dengan Pemilukada, sangat berkorelasi. Banyak anggaran digunakan oleh pemda, tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Berarti ini sudah jelas, kerna mereka pemegang anggaran sudah pasti digunakan untuk kepentingan politik,” sebut Komaruddin Hadi.
Anggapan yang berbeda di ungkapkan ketua DPRD Kalteng, R. Atu Narang yang juga kakak kandung Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang. Kendati ia mengaku laporan BPK RI tidak wajar, bukan berarti buruk, kerna pihak eksekutif masih diberi waktu 60 hari untuk memperbaikinya.
“Siapa bilang laporan BPK itu sangat riskan. Bukan riskan itu, hanya terkait masalah administrasi saja. Dimana SKPD yang bertangjawab dengan pengeluaran anggaran salah dalam pengisian format laporan. Sekarang Pemprov di beri kesempatan untuk memperbaikinya selama 60 hari, kalau sudah diperbaiki, kan statusnya naik lagi, jadi tidak ada masalah dengan laporan BPK tersebut,” pungkasnya. (ga/Radar Sampit)

Endus keterlibatan Dua Pejabat Negara

Komnas HAM Terhadap Kasus Runtu

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencium adanya keterlibatan dua pejabat negara dalam peristiwa berdarah 26 Mei 2005 lalu, yang melibatkan warga Desa Runtu Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat dengan aparat kepolisian, hingga berujung kematian.
Selain itu, ada 6 nama anggota Barigae Mobil (Brimob) Polda Kalteng diduga kuat sebagai pelaku penganiayaan dan penembakan terhadap warga Desa Runtu, hingga menewaskan Edon (21) dan dua lainnya cacat seumur hidup, yakni Edi S (37) tertembak dipangkal paha bagian kiri dan Eyos (30) patah paha bagian kiri, lantaran di pukul pakai popor senjata.
“Dalam pertemuan dengan Polda Kalteng kita sudah memberi nama-nama anggota Brimob yang terlibat penganiayaan. Bersama itu, kendati kita tidak menyebutkan nama, kita juga telah mengungkapkan keterlibatan dua pejabat negara,” ungkap John Nelson Simanjuntak SH, komisioner sub komisi pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM, di Palangka Raya, Jumat (18/6) sebelum beranjak ke Jakrata meninggalkan Kota Palangka Raya.
Pada kesempatan pertemuan tersebut, John Nelson Simanjuntak SH yang akrap disapa Jhoini mengungkapkan, dirinya atas nama Komnas HAM telah mendesak aparat kepolisian untuk segera menuntaskannya. Mengingat peristiwa di Desa Runtu bukan kasus biasa, tetapi kasus yang luar bisa hingga merenggut nyawa seseorang yang dilakukan oleh aparat negara.
“Komas HAM telah mendesak Polda Kalteng untuk mengusut dan menuntaskan masalah hukumnya. Pihak-pihak yang terlibat diminta untuk di panggil dan untuk di periksa. Kami melihat ini bukan kasus biasa, tetapi kasus yang luar biasa, kerna ada yang meninggal di tangan aparat negara, dalam hal ini anggota Kepolisian,” tegas Jhoni.
Lebih lanjut dikemukan Jhoni, dalam kesempatan pertemuan dengan Polda Kalteng tersebut juga terungkap, bahwa yang menjadi korban dalam peristiwa berdarah 26 Mei 2005 tersebut bukan hanya warga Desa Runtu, tetapi aparat keamanan juga menjadi korban penyiraman cuka getah hingga menyebabkan luka bakar di bagian tubuh dua aparat keamanan.
“Polisi berjanji akan mengungkap kasus ini. Namun membutuhkan waktu yang lama, kerna pejabat yang bertugas di Polda Kalteng rata-rata baru. Dalam pemriksaan nanti, tidak hanya kepada anggota yang terlibat, tetapi juga memeriksa warga pelaku penyiraman cuka getah ke tubuh anggota Brimob dan anggota TNI,” ungkap Jhoni.
Mantan aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) atau ELSAM ini mengharapkan, kunjungannya ke Kalteng dapat mengungkap dan menyelesaikan kasus Runtu sesegera mungkin. “Peristiwa ini terjadi 5 tahun lalu, tetapi sampai hari ini tidak ada penyelesaiannya oleh aparat kepolisian di sini. Saya tidak ingin tidak ada kepastian hukum bagi rakyat yang menjadi korban, oleh karena itu harus segera diselsaikan,” tukas Jhoni.
Untuk menindaklanjuti hingga pengungkapan kasus, tambah Jhoni, dalam waktu dekat, Komnas HAM akan menurunkan tim pencari fakta (TPF) untuk mengidentifikasi masalah dan sejauh mana penuntasannya di tataran penegak hukum. “Kita akan membentuk tim untuk melakukan ivestigasi kasus. Kita berharap kasus ini bisa segera dituntaskan. Ini penting dilakukan, kerna masyarakat berharap banyak, agar kasus ini cepat tuntas,” tambahnya.
Sebelumnya, tragedi di Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) tahun 2005 lalu kembali di sorot Komnas HAM. Komisioner Sub Komisi Komnas HAM John Nelson Simanjuntak, Shmendesak agar Pemprov Kalteng menyelesaikan kasus tersebut.
Ini disampaikan Tim Komnas HAM dalam pertemuan dengan Pemprov Kalteng yang dipimpin Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran di Palangka Raya, Rabu (16/6). “Kami ingin menanyakan tentang kebijakan investasi di bidang perkebunan yang terdapat indikasi pelanggaran HAM, terutama perkebunan sawit, seperti di Desa Natai Baru dan Natai Raya (Kobar). Sebagian besar konflik terjadi antara pengusaha dan masyarakat dan ada beberapa konflik yang belum selesai hingga kini,” kata John Nelson Simanjuntak SH, komisioner subkomisi pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM.
Menurut John, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung ke Kobar terkait permasalahan perampasan lahan transmigrasi di Desa Natai Baru dan Natai Raya Kecamatan Arut Selatan oleh beberapa perusahaan. Selain itu, pihaknya juga menerima pengaduan dari masyarakat agar Komnas HAM mengakomodir penyelesaian permalahan itu.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran mengatakan, pihaknya akan bertindak tegas kepada perusahaan yang menyengsarakan rakyat, bahkan, tidak segan untuk mencabut izin investasi perusahaan perkebunan itu. Apabila terbukti melakukan pelanggaran HAM.
“Saya juga pernah meminta pihak perkebunan untuk mengembalikan lahan yang dirampas kepada masyarakat walaupun akibatnya saya harus kehilangan suara saat pemilukada di daerah itu, tapi, akhirnya perusahaan itu mengembalikan tanah kepada rakyat dan rakyat yang menang” katanya seraya menambahkan, Ia juga sering meminta kepada masyarakat untuk tidak menjual lahan kepada investor meski diiming-imingi sejumah uang. (ga/Radar Sampit)

Wagub Janji Usut Kasus Runtu

Setelah Di Desak oleh Komnas HAM

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-Tragedi di Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) tahun 2005 lalu kembali di sorot Komnas HAM. Komisioner Sub Komisi Komnas HAM John Nelson Simanjuntak, Shmendesak agar Pemprov Kalteng menyelesaikan kasus tersebut.
Ini disampaikan Tim Komnas HAM dalam pertemuan dengan Pemprov Kalteng yang dipimpin Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran di Palangka Raya, Rabu (16/6). “Kami ingin menanyakan tentang kebijakan investasi di bidang perkebunan yang terdapat indikasi pelanggaran HAM, terutama perkebunan sawit, seperti di Desa Natai Baru dan Natai Raya (Kobar). Sebagian besar konflik terjadi antara pengusaha dan masyarakat dan ada beberapa konflik yang belum selesai hingga kini,” kata John Nelson Simanjuntak SH, komisioner subkomisi pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM.
Menurut John, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung ke Kobar terkait permasalahan perampasan lahan transmigrasi di Desa Natai Baru dan Natai Raya Kecamatan Arut Selatan oleh beberapa perusahaan. Selain itu, pihaknya juga menerima pengaduan dari masyarakat agar Komnas HAM mengakomodir penyelesaian permalahan itu.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran mengatakan, pihaknya akan bertindak tegas kepada perusahaan yang menyengsarakan rakyat, bahkan, tidak segan untuk mencabut izin investasi perusahaan perkebunan itu. Apabila terbukti melakukan pelanggaran HAM.
“Saya juga pernah meminta pihak perkebunan untuk mengembalikan lahan yang dirampas kepada masyarakat walaupun akibatnya saya harus kehilangan suara saat pemilukada di daerah itu, tapi, akhirnya perusahaan itu mengembalikan tanah kepada rakyat dan rakyat yang menang” katanya seraya menambahkan, Ia juga sering meminta kepada masyarakat untuk tidak menjual lahan kepada investor meski diiming-imingi sejumah uang.
“Pemprov juga telah menginstruksikan kepada Bupati/Walikota se-Kalteng untuk tidak menganggu gugat tanah milik rakyat. Sekarang tanah milik rakyat di Kalteng sedang di inventarisir untuk didata, jumlah dan luas lahannya untuk dibuatkan surat keterangan dari Demang,” timpalnya.
Sementara itu, Asisten III Siun menambahkan, masyarakat lokal di Kalteng selalu menjadi pihak yang kalah dalam konflik lahan. Pasalnya, warga lokal tidak memiliki bukti otentik terhadap kepemilikan tanahnya, sementara perusahaan sudah mengantongii izin yang sah dari pemerintah daerah.
“Apabila masyarakat melapor ke aparat telah terjadi perampasan lahan, malah dikira memeras. Memang apabila dilihat dari sisi hukum itu pemerasan, tapi kalau dari sisi tradisi, memang hal itu sudah menjadi hak milik masyarakat warisan leluhurnya,” tegasnya.
Selain membahas masalah perampasan lahan, Tim Komnas HAM juga mempertanyakan modus penyelesaian konflik etnis di Sampit beberapa tahun silam perlakuan terhadap agama minoritas di Kalteng seperti agama Kaharingan yang hingga kini ingin mendapat status yang sah dari pemerintah terkait keberadaannya. (ga/Radar Sampit)

Syarifudin: Ada Upaya Polda Kalteng Merekayasa Kasus

Terkait Penetapan Dirut PT SBY Sebagai Tersangaka

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA- Polda Kalteng diguncang isue merekayasa kasus. Kali ini korbannya Direktur PT Sumber Borneo Yufanda (PT SBY) H Jahrian, pengusaha kontraktor jalan asal Kalimantan Selatan dituduh melakukan tindak pidana korupsi pungutan angkutan jalan tambang di Tamiang Layang Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Menurut kuasa hukum H. Jahrian, Syarifuddin Jusuf, ada unsur rekayasa terkait penetapan H Jahrian sebagai tersangka korupsi. Pasalnya, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2, 3 dan 12 huruf (i) dan (F) dan Junto Pasal 55 ayat (1) kesatu dan Pasal 56, turut serta, yang disangkakan kepada H. Jahrian adalah salah sasaran, kerna H. Jahrian adalah investor bukan pejabat negara.
“Kalau rangkayan pasal tersebut, adalah turut serta, maka ada pelaku utamanya sementara sampai sekarang tidak ada pelaku utamanya. Jika menggunakan Pasal 3 dan 12 huruf (i) dan (F) itu pasal untuk pejabat negara atau PNS. Nah, sekarang yang pejabat negaranya adalah Bupati Barito Timur, tetapi sampai sekarang belum pernah diperiksa baik sebagai saksi mapun tersangka,” ungkap Syarifuddin Jusuf, kepada sejumlah wartawan di Hotel Aquarius Palangka Raya, Kamis (10/6).
Dikemukakannya, ada dua yang menjadi korban rekayasa kasus. Selain Direktur PT. SBY juga Direktur PT. Puspita Alam Kurnia (PAK) Teja Kurnia, yang sekarang berkas kasusnya sudah dinyatakan P21 oleh penyidik Polda Kalteng, seperti yang diberitakan Kalteng Pos, Kamis, 10 Juni lalu (Group Radar Sampit).
“P21 terlalu dipaksakan, mereka adalah investor, unsur melawan hukum sebagaimana yang disangkakan kepada investor melanggar UU Tipikor, dilihatnya dari pasal yang mana. Kerna investor yang datang berdasarkan undangan dari pemerintah daerah setempat dalam hal ini adalah Bupati Bartim, dasar dari kerjasama adalah Perda dan Perbub yang kemudian ditambah lagi pernyataan bersama,” beber Syarifudin.
“Dasar dari kerjasama PT. PAK dengan pemda setempat itulah kemudian melalui pelimpahan kerja ke PT. SBY dimana dasarnya adalah Perda yang dibuat oleh Eksekutif dan Legislatif, kemudian turunannya Perbup. Tetapi anehnya sampai saat ini Bupatinya belum pernah di periksa, apalagi sebagai tersangka. Jelas ini adalah upaya merekayasa kasus, ada mafia di Polda Kalteng,” imbuhnya, seraya mengatakan, berita tentang ada mafia di Polda kalteng sudah terbit di sejumlah media di Kalteng.
Syarifudin menegaskan, jika melihat dari awalnya kasus ini mencuat, sangat kental adanya kasus pesanan dari pihak ketiga, dimana sebelumnya kasus ini mencuat ada pertemuan berbagai pihak pada tahun lalu, antara PT. SBY dengan Asosiasi Pengusaha Batu Bara (APBB) terkait masalah selisih perhitungan sewa alat yang dipakai PT. SBY untuk membuka jalan, yang sebagaiannya adalah milik APBB.
“Untuk menyelesaikan sengketa ini, pada tahun lalau ada pertemuan di sebuah hotel di Banjar Masin yang dipasilitasi oleh Polda Kalteng dan Direskrim Polda Kalsel. Namun tidak ada kesepakatan. Nah disitulah orang dari APBB bersupah akan mengambil alih jalan tersebut. Kalau dia tidak bisa mengambil alih pengelolaan jalan tersebut maka ia akan memtong kemaluannya dan memakannya sendiri,” beber Syarifudin.
Sejak pertemuan di hotel yang dipasilitasi Kapolda dan Direskrim Polda Kalsel tersebut, lanjut Syarifudin, pekerjaan pembangunan jalan khusus angkutan batu bara yang dikerjakan oleh PT SBY, baru berjalan selama 11 bulan tiba-tiba dihentikan oleh pemkab setempat, dan direkturnya dijadikan sebagai tersangka turut serta dalam tindak pidana korupsi.
“Sekarang yang menjadi pertanyaan, siapa tersangka korupsi utamanya. Pasal-pasal yang disangkakan adalah pasal untuk pejabat negara. Hari ini, (kemaren,red) saya baca di media massa Bupati Bartim akan diperiksa, kapan diperiksanya. Kalau katanya alasan kendala surat izin dari Presiden, lalu kapan mereka mengirim surat ke Presiden dan berapa nomornya,” tanya Syarifudin. (Uga/Radar Sampit)