9 Mar 2009

Yang Tersisa Dari Kunjungan Kerja KPK di P. Raya

KPK Haramkan Memakai Fasilitas Negara

Bicara soal pemakaian fasilitas Negara disaat kampanye, nampaknya KPK punya pandangan berbeda dengan Jaksa Agung Hendarman Supanji. Hendarman menyebutkan memakai fasilitas negara saat kampanye bukan korupsi sementara KPK menyebutkan itu korupsi. Apa saja alasan KPK menolak fasilitas Negara?


ALFRID UGA, Palangka Raya


CAP lembaga super bodi, memang patut disandang KPK. Meski nama besar lembaga anti korupsi tersebut sempet tercoreng karena ulah salah seorang oknum penyidik KPK, yakni AKP Suparman yang ditangkap karena memeras Direktur Utama PT Sandang, Kuntjoro Hendartono sebesar Rp 700 Juta pada tahun 2006 lalu.
Salah satu contoh layak disebut super bodi, adalah penolakan pejabat KPK terhadap pemakaian fasilitas-fasilitas Negara. Misalnya, mobil dinas, rumah dinas, hingga pelayanan khusus dari pejabat Negara baik di pusat mapun didaerah, seperti penyediaan hotel, pelayan makan dan minum direstoran, apalagi transpotasi dalam menjalankan tugas.
Bahkan KPK menyebutkan kampanye menggunakan fasilitas negara dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Pernyataan KPK ini tentu mengundang rekasi mantan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), yang juga orang nomor satu di digedung bundar, yaitu Jaksa Agung Hendarman Supanji.
Hendarman menyebutkan, ada 30 pasal tentang korupsi didalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun tidak ada satu pasal-pun disebutkan kampanye menggunakan fasilitas negara sebagai bentuk korupsi.
Bagaimana KPK menanggapinya? Meski tak menjelaskannya lebih jauh, Direktur Pelayanan Masyarakat KPK, Guntur Kusmeiyano, ketika dibincangi Radar Sampit, belum lama ini mengatakan, kampanye merupakan urusan pribadi, sehingga diharamkan menggunakan fasilitas negara, oleh karenanya bila kampanye menggunakan fasilitas negara dapat ditagorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Terkait dengan alasan KPK menolak fasilitas Negara. Guntur menguraikan, ada tiga alasan, yang pertama KPK memakai fasilitas Negara karena bertentangan dengan undang-undang terutama yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi KPK.
Yang kedua, dalam melakukan program atau kegiatan-kegiatan baik dipusat maupun di daerah secara kelembagaan ada aturan-aturan atau kode etik lembaga yang mengatur KPK sehingga tetap berjalan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sehari-hari KPK.
Sedangkan yang ketiga, organisasi dan manajemen sekretarit KPK tak terlepas dari aturan yang ditetapkan pemerintah, yakni peraturan pemerintah (PP) dan kemudian dipertegasladi dengan SK pimpinan KPK yang mengharamkan memakai fasilitas negara, apalagi mendapat pelayanan khusus dalam menjalankan tugas-tugas KPK.
”Berdasar aturan-aturan tersebut, kami berpandangan bahwa sangat diharamkan bagi anggota dan pimpinan KPK memakai fasilitas negara seperti mobil dinas, rumah dinas mapun mendapat pelayanan lainnya dari pemerintah daerah dalam menjalankan tugas, seperti hotel, makan-minum, dan transportasi” ungkap Guntur.
Menyinggung soal gaji atau saleri angggota KPK, diakuinya memang cukup besar bahkan lebih besar dari gaji Presiden, yakni sebesar Rp 62 juta. Namun katanya, dari jumlah tersebut yang dibawa pulang tak sebesar saat diterima, sisanya hanya sekitar 50 persen. Mulai dari potongan pajak penghasilan, kontrak rumah, sewa mobil, hingga uang makan.
”Kami beda dengan pejabat negara lainnya. Mereka selain menerima gaji, juga mendapat fasiltas dari negara, mulai dari pajak penghasilan ditanggung negara, mobil dinas, rumah dinas, uang bensin, uang makan, hingga biaya kesehatan ditanggung negara, sementara kami tidak,” pungkasnya.
Guntur menegaskan, selain diatur oleh undang-undang, penolakan terhadap pemakaian fasilitas dari negara itu semeta menjaga kedridibilas, integritas, akuntabilitas dan menjamin trasparansi KPK oleh karena itu, katanya sangat diharamkan memakai fasilitas negara apalagi mendapat pelayanan istimewa dari negara.
”Pada biasanya akan bias kalau memakai fasilitas negara. Contoh manakala seorang pejabat diberikan mobil dinas, pasti tidak bisa membedakan kapan itu urusan kenegaraan, kapan urusan pribadi seperti halnya rumah dinas,” imbuh Guntur. (***)

Tidak ada komentar: