Oleh: Ellen D
PALANGKA RAYA – Pernyataan Direktur Eksekutif Sawit Watch Jakarta Abednego Tarigan yang menilai investasi perkebunan sawit tak banyak menguntungkan bagi pemerintah daerah (pemda) dibantah Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalimantan Tengah (Kalteng), Teguh Patriawan. Menurut Teguh, perkebunan sawit justru turut menumbuhkan perekonomian setempat dan menguntungkan masyarakat.
“Sah-sah saja dia (Abednego) ngomong begitu. Tetapi, dia harusnya survei ke Kalteng, lihat langsung efek investasi perkebunan sawit. Ada nggak efeknya terhadap masyarakat, misalnya pertumbuhan ekonomi,” ujar Teguh Patriawan kepada Kalteng Pos per ponsel, Rabu (11/3) pagi.
Tumbuhnya perekonomian, jelasnya, terlihat dari bertambahnya pendapatan warga setempat karena timbulnya usaha lain yang menunjang perkebunan. Antara lain, angkutan dan warung. Begitu juga dengan penyerapan tenaga kerja. Ketua GPPI Kalteng mengatakan, tiap-tiap orang harusnya tak menutup mata akan kemajuan pembangunan yang ditimbulkan dari investasi perkebunan sawit.
Mengenai kantor perkebunan yang berpusat di Jakarta, menurut Teguh itu benar. “Memang betul kantor pusat banyak di Jakarta. Pemda boleh-boleh saja kalau mau gaet (investor sawit) dan meminta kantor ada di daerah. Tetapi, dengan catatan daerah harus memberikan fasilitas yang lengkap. Jangan hanya meminta kantor di daerah tanpa adanya fasilitas seperti kemudahan servis dan kemudahan lainnya,” ucapnya.
Teguh mengutarakan, fasilitas ini nantinya menyangkut mudahnya mengurus perpajakan, perhubungan, sarana komunikasi, dan lainnya. “Kalau pemda bisa sediakan itu, perkebunan akan welcome. Selama ini fasilitas yang diberikan Pemda Kalteng oke-oke saja,” ungkapnya.
Terkait dampak krisis global untuk perkebunan sawit, menurutnya masih sangat terasa hingga empat bulan ke depan. Dampak itu berupa tak adanya pengembangan lahan baru. Pengusaha sawit masih berkutat pada lahan lama. Dengan sendirinya, jelas Teguh, penyerapan tenaga kerja untuk pengembangan menjadi berkurang. “Padahal bisnis kan maunya nggak statis di situ saja. Tetapi PHK (pemutusan hubungan kerja) nggak ada, begitu juga dengan pengurangan jam kerja, tak dilakukan,” ucapnya.
Dituturkannya, setiap tahun pengembangan areal sawit di Kalteng rata-rata 40 ribu-50 ribu hektare (ha). Dengan dampak krisis global saat ini, itu akan sangat menurun. “Saya nggak tahu persis angka pasti penurunannya. Tetapi, pasti menurun karena banyak perusahaan yang pengembangannya berhenti. Itu yang saya tahu dari teman-teman (pengusaha sawit),” jelas Teguh.
Pengembangan areal sawit terhenti akibat dampak krisis global, tuturnya, disebabkan beberapa faktor. Pertama, dana dari bank tak tersedia. Kedua, pengurangan pembeli hasil pengolahan sawit dari luar wilayah. Ketiga, ketidakjelasan harga sawit hingga dua tahun ke depan.
“Kendati demikian, perkebunan sawit yang ada harus tetap eksis. Sebab, yang sudah tertanam tetap harus dipanen. Ekspor tak bisa berkurang dan jalan terus meski harganya turun. Harga dunia untuk sawit saat ini adalah US$ 570-580 per ton. Harga sebelumnya di atas US$ 1.000 per ton,” ucapnya.
Sekadar mengingatkan, banyaknya investasi perkebunan sawit di Indonesia termasuk di Kalteng dinilai tak banyak menguntungkan pemda. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Sawit Watch Jakarta Abednego Tarigan.
Menurut Abednego, masuknya investasi memang menguntungkan bagi pemda pada periode tertentu, yaitu ada perizinan dan lainnya untuk pemasukan daerah. Tetapi, setelah beroperasi pemasukan tersebut semuanya lari ke Pusat seperti pajak. Sebab, tak ada perkebunan yang kantor pusatnya di daerah. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar