11 Mar 2009

Walhi Nasional Sebut RTRWP Diperalat


Oleh: Haris Lemana

JAKARTA- Belum tuntasnya masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng memantik komentar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Berry Nahdian Forqan.
Berry berpandangan, tata ruang ini kelihatannya hanya diperalat untuk mengakomodir kepentingan investasi, tidak betul-betul dijadikan instrumen menata dan mengatur peruntukkan kawasan hutan.
“Tata ruang yang ada ini tidak dibangun ke arah sana. Di mana wilayahnya, permukiman, serta produksinya tidak dihitung berdasarkan jaminan kesejahteraan dan jasa pelayanan alam sekitar.
Dalam praktiknya, kebanyakan perencanaan tata ruang itu melegitimasi dan membersihkan praktik pelanggaran terhadap peruntukkan kawasan,” katanya di kantor Walhi kemarin.
Menurut dia, kenyataan seperti ini bukan hanya terjadi di Kalteng. Tetap juga hampir merata di mana-mana. Yang dulunya kawasan hutan lindung, lalu ditanami investasi. Untuk menyesuaikan itu agar tidak melanggar, maka diubahlah. Artinya tidak berdasarkan perencanaan yang matang, ekologi, kebutuhan, sosial dan ekonomi.
Di Jakarta sendiri, timpal dia, beberapa kawasan pelan-pelan diubah jadi sentral bisnis dan mall. Masuk hutan lindung, dan hutan produksi ketika izin tambang masuk, sudah ada duluan. “Mestinya tidak demikian. Secara umum seperti itu, tapi yang penting harus menjamin tiga unsur, sosial, ekonomi dan ekologi,” tandasnya.
Lebih lanjut Berry mengemukakan, konsep tata ruang bukan instrumen yang mampu menjawab berbagai persoalan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. RTRWP lebih dibajak oleh kepentingan bisnis, baik pemerintah maupun legislator.
“Pertanyaan saya, apakah tata ruang ini didasarkan atas kajian yang komprehensif? Tanpa kajian komprehensif, dua-duanya baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tidak akan menjawab.
Undang-undang memang memungkinkan untuk dilakukan perubahan, tapi harus ada kajian dan fakta-fakta komprehensif,” tegas mantan Direktur Walhi Kalimantan Selatan ini.
Pria kelahiran Barabai yang baru satu tahun hijrah ke Jakarta memimpin Walhi Nasional itu menimpali, mestinya pemerintah pusat dan pemerintah daerah melibatkan berbagai stake holder sebelum merumuskan masalah tata ruang ini.
“Contoh di Kalsel, tidak ada konsultasi publik, tiba-tiba muncul begitu saja soal tata ruang. Tata ruang di sana kebanyakan dipengaruhi oleh para penambang. Mulai dari membiayai untuk perumusannya, menyediakan data-data untuk perumusan lobi dan negosiasai data-data pusat. Kita tahu persis itu, walaupun memang agak susah membuktikannya,” ungkapnya, tampak menyesal. (***)

Tidak ada komentar: