11 Mar 2009

Hentikan Pembukaan Lahan Sawit


Bila Diteruskan, Sawit Watch Yakin Daerah akan Keok

Oleh: Haris Lesmana

JAKARTA- Peringatan keras dilontarkan Direktur Eksekutif Sawit Watch, Abetnego Tarigan. Aktivis lingkungan itu meminta pemerintah daerah, termasuk Provinsi Kalimantan Tengah menghentikan pembukaan lahan-lahan pekebunan kelapa sawit.
“Pemerintah harus fokus pada perkebunan yang sudah ada. Nanti kalau bicara nambah, lihat mana yang sudah eksis diinvestarisasi. Ini jadi soal, karena pemerintah selalu mengatakan ini ada lahan baru, berbeda dengan yang lama. Padahal, kalau diteruskan daerah pasti akan keok,” ujar Abetnego kepada Radar Sampit di kantor Walhi Nasional Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta Selatan, Selasa (10/3).
Lelaki berperawakan tinggi itu mengingatkan, betapa perkebunan sawit sesungguhnya lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat. Menurutnya, banyak hal yang perlu dikaji dan dianalisa sebelum menjatuhkan pilihan untuk membuka dan mengembangkan sawit di daerah.
Satu contoh yang barangkali tidak disadari oleh pemerintah daerah saat ini, kata Abetnego, adalah terkait masalah pajak. Ketika di awal-awal akan dibuka lahan perkebunan sawit, pemda mungkin merasa gembira bakal kecipratan uang. Baik itu uang dari investasi awal, maupun menyangkut urusan perizinan.
“Kalau bicara pajak, sebenarnya kan masih pusat. Pemda sering berada pada kondisi membingungkan, awalnya menyenangkan banyak investasi, tapi setelah itu datar, tidak ada perkembangan signifikan,” timpalnya.
Pemerintah pada periode tertentu, jelas dia, diuntungkan hanya saat perizinan saja. Uang masuk waktu bangun kebun, tapi saat proses itu jalan, sudah lari ke pusat saja. Akibatnya, keuntungan jauh lebih banyak lari ke pusat. Dan ini menjadi masalah di pemerintah daerah.
Abetnego menandaskan, sampai detik ini tidak ada perusahaan yang kantor pusatnya di daerah. Semuanya berada di Jakarta. Dampaknya jelas, berimplikasi pada pungutan-pungutan dan perhitungan pajak itu di Jakarta.
Yang terjadi di daerah, kata dia, hanyalah perputaran uang biaya produksi perusahaan dan belanja buruh. Lain dari itu, tidak. “Ini yang pemerintah daerah banyak tidak sadari,” katanya lagi saat dibincangi di sela meeting dengan sejumlah aktivis di Kantor Walhi Nasional.
Disinggung banyaknya perkebunan sawit di Kalteng, Abetnego yang mengaku pernah “berdebat” dengan Gubernur Kalteng A Teras Narang saat seminar sawit beberapa waktu lalu itu menekankan, Pemda Kalteng sebaiknya cukup dulu dengan sawit yang ada sekarang.
Dikemukakannya, pembukaan lahan sawit baru pasti menimbulkan problem monokultur skala besar. Dalam hitungan ekonomis, urainya, satu unit produksi itu minimal memerlukan 6 ribu hektare lahan. Artinya, dampak lingkungan yang muncul akan sangat besar, bukan saja soal alih fungsi kawasan, tapi juga dampak penggunaan bahan-bahan kimia.
Abetnego juga menyangkal argumen yang menyebut perusahaan kelapa sawit dapat mengurangi pengangguran. Menurut dia, di beberapa wilayah persoalan tenaga kerja ini justeru menjadi dilema. Di Kalteng misalnya, kalau dikembangkan kebun sawit yang izinnya sudah mencapai 4 juta hektare, itu tidak cukup untuk Kalteng sendiri.
“Artinya perlu imigrasi besar-besaran. Makanya waktu itu ke Pak Teras saya bilang, tenaga kerja ini terkait masalah Kalteng atau masalah nasional? Dicek dulu berapa tingkat pengangguran, jangan menggunakan argumen seperti itu kalau hanya untuk meloloskan investasi. Saya yakin pengangguran di Kalteng sedikit,” pungkas aktivis yang punya markas di Sekretariat Perkumpulan Sawit Watch Jalan Sempur Kaler No. 28 Bogor itu. (***)

Tidak ada komentar: