24 Jul 2009

Teras Preseden Buruk Bagi Penegakan Hukum

Terkait Surat Permohonan Agar Ketiga Pimpinan Dewan Tidak Ditahan

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Sikap ambivalen (mendua, red) Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dan Walikota Palangka Raya Riban Satia terhadap kasus hukum yang mendera ketiga pimpinan DPRD Kota Palangka Raya menuai kritik pedas dari praktisi hukum Tjiwie Sjamsuddin.
Menurutnya, surat gubernur dan walikota yang dilayangkan kepada Kajari Palangka Raya, bermohon agar ketiga pimpinan dewan tersebut tidak ditahan, meski statusnya tersangka dalam dugaan korupsi penyelewengan anggaran biaya pengembangan SDM sebesar Rp 2,8 miliar di sekretariat DPRD Kota Palangka Raya, adalah bentuk intervensi lembaga eksekutif terhadap yudikatif.
Tjiwie menilai, keluarnya surat gubernur dan walikota tersebut sudah merupakan bentuk intervensi hukum dari lembaga eksekutif terhadap yudikatif. Bahkan dia menegaskan, sikap ambivalen gubernur dan walikota merupakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indoensia khususnya Kalteng.
Dijelaskannya, triaspolitikal rosseou didalam negara sudah terbagi atas tiga komponen, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, dimana ketiga masing-masing komponen tersebut sudah ada tugas dan fungsinya diatur didalam undang-undang.
”Kita mempertanyakan, ataupun bertanya kepada gubernur dan walikota. Bukankah ini namanya bentuk dari intervensi eksekutif terhadap yudikatif. Kalau sebagai pribadi silahkan, tetapi sebagai pejabat publik, ini tidak boleh terjadi,” ujarnya, di Palangka Raya, Kamis (23/7) kemarin.
Lebih jauh Tjiwie menilai surat permohonan tersebut merupakan bentuk campur tangan eksekutif terhadap yudikatif yang melampaui batas kewenangan sebagai pejabat publik untuk membela kepentingan kelompok karena didorong oleh faktor x.
Faktor x jelas Tjiwie, bisa karena ada hubungan keluarga antara pemegang tampuk kekuasaan di eksekutif dengan ketiga tersangka, atau karena uang, dan juga bisa karena tekanan-tekanan politik, ancaman dari kelompok tertentu terhadap pemegang kekuasaan, sehingga keluarlah satu kebijakan yang tidak lajim menurut hukum.
”Bila ini terjadi jelas sudah merupakan kemunduran penegakan hukum di Kalteng, dan ini merupakan perseden buruk bagi penegakan hukum di Kalteng. Kepada petinggi hukum, hendaknya menyikapi hal ini. Jelas sudah, surat gubernur dan walikota diluar kewajaran hukum, lain halnya jika atas nama pribadi,” imbuh Tjiwie.

Gubernur Dan Walikota Tampik Surat ke Kejaksaan
SEMENTARA
itu, dalam klarifikasinya Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang melalui Setda Provinsi Kalteng Tampunah Sinseng, menyatakan tidak pernah menyurati Kajari Palangka Raya untuk menjamin penangguhan penahanan tiga unsur pimpinan dewan kota yang diduga terkait kasus korupsi di sekretariat DPRD Kota.
“Itu bukan surat izin penangguhan penahanan, surat tersebut sifatnya hanya meneruskan dari walikota Palangka Raya dengan alasan keberadaan unsur pimpinan dewan sangat diperlukan untuk menggarap proses Raperda dan perubahan anggaran, jadi tidak ada sedikit pun Gubernur mengintervensi,” ucap Setda Provinsi Kalteng Thampunah Sinseng, di Palangka Raya, Kamis (23/7) kemarin.
Dijelaskannya, surat yang dilayangkan pihaknya hanya memandang peran unsur pimpinan tersebut terhadap keberlangsungan proses pemerintahan di Kota Palangka Raya saat ini. Jadi siapa pun warga negara Indoensia, tambahnya, yang terkait masalah pemerintahan tetap akan dibantu oleh gubernur sepanjang itu tidak mengganggu proses hukum.
“Inti surat Gubernur ke Kejaksaan tersebut, intinya meneruskan surat walikota bahwa disana memang kegiatan masalah legislasi, yakni perubahan anggaran dan pembahasan beberapa reperda yang harus diselesaikan,” kuatkannya.
Tampunah menandaskan, terbitnya surat tersebut tidak berniat untuk mencampuri proses hukum yang sedang dilaksanakan aparatur penegak hukum di provinsi ini. Bahkan dalam surat tersebut tidak tercantum sama sekali permohonan penangguhan penahanan.
Hal senada disampaikan Walikota Palangka Raya Riban Satia. Surat yang dikirimkan kepada gubernur dan kemudian diteriuskan kepada Kajari Palangka Raya tersebut tidak berniat untuk meminta penangguhan penahanan tiga pimpinan dewan tersebut. “Penyelenggaraan pemerintahan harus ada eksekutif dan legislatif, kebetulan yang tersangka adalah pimpinan legislatif, diketahui pengambilan keputusan di suatu daerah peran legislatif sangat besar terutama masalah penganggaran,” imbuhnya.
Riban menjelaskan jika pihaknya menyurati Gubernur Kalteng sekedar menginformasikan jika proses hukum terhadap unsur pimpinan dewan maka akan menggangu proses pemerintahan. “Jangan salahkan walikota ketika berbagai keputusan tidak dapat dilaksanakan jika pimpinan DPRD itu diproses,” ucapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, surat tersebut tak hanya ditujukan ke gubernur . Namun, juga ditembuskan ke Kejati Kalteng, Kajari Palangka Raya dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) secara berjenjang. “Dalam proses itu, Gubernur merespon lagi surat tersebut. Tapi yang jelas kami menginformasikan ke Gubernur bahwa pimpinan DPRD kalau diproses akan terganggu pada saat pengambilan keputusan, proses pembangunan daerah karena separuh tahun anggaran,” pungkasnya.
Disinggung, setiap keputusan di badan legislatif diambil berdasarkan kolektif semua anggota termasuk pemilihan unsur pimpinan yang baru. Riban kembali menegaskan itu perlu ada proses. “Kalau mereka ditahan dan sebagainya apakah ada rongga hukum untuk pemilihan pimpinan DPRD yang baru dan ini yang saya sampaikan kemarin,” jawabnya. (*)

Tidak ada komentar: