13 Jul 2009

Gubernur Menyangkal Ada Upaya Pemutihan

Kasus Hukum Dibalik Revisi RTRWP Kalteng

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Tudingan dua kelompok lingkungan, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indoensia (Walhi) Kalteng dan Save Our Borneo (SOB). Revisi Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng, sebagai upaya pemutihan kasus hukum. Akhirnya, ditanggapi juga oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang.
Dua kelompok pro lingkungan tersebut menuding, revisi RTRWP Kalteng merupakan upaya pemerintah provinsi melindungi para investor dan sejumlah kepala daerah kabupaten/kota terkait penyalahan wewenang dalam pemberian izin kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan dan pertambangan.
Tudiang kedua kelompok pemerhati lingkungan tersebut disangkal gubernur. Dalam klarifikasi gubernur, tak ada maksud pemrintah daerah dalam revisi RTRWP Kalteng sebagai upaya pemutihan kasus hukum, baik terhadap investor mapun kepala daerah terkait pemberian izin kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan mapun pertambangan. Justeru, revisi RTRWP bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para investor.
Menurutnya, izin-izin yang dikeluarkan pemrintah daerah, baik oleh gubernur sebelumnya mapun kepala daerah kabupaten/kota tidak melanggar hukum dan sudah sesuai dengan ketentuan yang ada. Dimana, ketentuan tersebut telah diatur melalui Surat Kepala Badan Planalogi (Baplan) Kehutanan dan Perkebunan, Nomor 778/VIII-KP/2000 tanggal 12 September 2000.
Dalam suarat tersebut, ucap gubernur, dengan tegas menyatakan bahwa kawasan pengembangan produksi (KPP) dan kawasan pemukiman dan penggunaan lain (KPPL) pada dasarnya merupakan areal penggunaan lain, dan berdasarkan peta padu serasi RTRWP Kalteng dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalteng tidak lagi memerlukan proses pelepasan kawasan hutan.
”Bukan pemutihan, justeru kita akan membuat payung hukum. Payung hukumnya adalah revisi Perda No. 8 Tahun 2003 tentang RTRWP Kalteng. Nah, kenapa kemudian sejumlah izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bukan gubernur ya, tetapi oleh bupati/walikota, kemudian dianggap tidak sah dan kemudian surat Kepala Baplan dicabut oleh Menhut berdasarkan surat No. S.575/Menhut-II/2006 tanggal 11 September 2006,” ujarnya di Palangka Raya, kemarin.
”Sebagai kepala daerah, saya wajib melindungi investasi di Kalteng. Apalagi izin yang dikeluarkan sudah beroperasi. Jadi berdasarkan Surat Kepala Baplan tidak ada yang melanggar hukum, kecuali izin yang dikeluarkan setelah surat Kepala Baplan dicabut oleh Menhut tertanggal 11 September 2006. Masa ia, surat Menhut berlaku surut kebelakang,” timpalnya.
Menanggapi pertanyaan Radar sampit, agar pemerintah daerah membuka data kawasan mana saja yang dilepas dalam revisi RTRWP Kalteng yang diminta berdasarkan luas kawasan non hutan sebesar 44 persen, dan apa saja izin yang ada dalam kawasan yang diusulkan untuk dilepas. Gubernur nampaknya sulit memberi penjelasan, dengan alasan belum mengetahui secara rinci. Namun demikian, secara tak langsung gubernur mengakui bahwa kawasan non hutan yang diminta sebesar 44 persen adalah untuk mengakomodir izin yang sudah dikeluarkan.
”Memang berdasarkan usulan pemrintah daerah dengan hasil tim terpadu, ada perbedaan. Tim terpadu melihat ada beberapa lahan yang sudah diberikan izin kepada investor perkebunan, dan investor pertambangan. Nah, kenapa kita ngotot minta 44 persen kawasan non hutan, berarti 44 persen itu sudah termasuk didalamnya kawasan-kawasan yang sudah dikeluarkan izinnya oleh pemerintah kabupaten,” jawab gubernur.
”Sekarang yang jadi masalah berdasarkan unsulan tersebut, apakah Dephut setuju atau tidak, karena ini menyangkut pelepasan kawasan hutan. Jadi perbedaannya disitu, kalau di setujui berarti ada perkebunan dan ada juga pertambangan sesuai izin kawasn diberikan berjalan atau beroperasi. Kalau tidak setujui berarti ada proses pencabutan izin yang tidak disetujui oleh tim terpadu dan kehutanan dengan memperhatikan masalah kelestarian hutan,” pungkasnya menimpali.
Seperti diberitakan sebelumnya, ditengah keinginan pemerintah daerah yang berharap revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTWRP) segera disahkan,
justru ada pendapat berbeda yang dilontarkan oleh Save Our Borneo (SOB).
Direktur SOB, Nordin mensinyalir revisi atau lebih tepatnya bongkar ulang RTRWP ini merupakan upaya pemutihan atas izin-izin lokasi yang sudah dikeluarkan namun menyalahi RTRWP yang berlaku. “Tentu saja jalan pintasnya adalah revisi,” tuding Nordin.
Langkah revisi ini menurut Nordin, untuk menghindari resiko dan konsekwensi hukum yang bisa berakibat penjara. Karena itu secara berjamaah digulirkan rencana revisi RTRWP dengan berbagai argumentasi yang seringkali tidak masuk akal.
Padahal RTRWP yang mau direvisi baru seumur jagung karena baru disahkan tahun 2003. Hal ini menunjukan bahwa telah tejadi kesalahan fatal dalam penyusunan RTRWP 2003 atau sebaliknya telah terjadi pelanggaran fatal dan kriminal atas RTRWP 2003 tersebut. (*)

Tidak ada komentar: