28 Agu 2009

UU Otonomi Perlu Perubahan

Baru Bisa Kepala Daerah di Pilih DPRD

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Wacana penghapusan pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, tapi dipilih oleh DPRD mengundang perdebatan panjang di kalangan elit politik, mulai dari tingkat pusat hingga kedaerah. Perdebatan bukan hanya menyangkut hilangnya proses demokratisasi, melainkan juga berkaitan dengan format ketatanegaraan.
Bagaimana sikap MPR RI? Wakil Ketua MPR RI AM Fatwa mengulas banyak tentang wacana tersebut. Dia memandang pemeilihan gubernur dikembalikan kepada DPRD baik untuk dikaji lebih dalam, dan ia berharap wacana tersebut terus dikembangkan, sehingga sampai kepada suatu usulan yang baik dalam rangka penataan pemerintahan daerah yang ideal.
Menurut AM Fatwa, dalam UUD 1945 yang menyebutkan pemilihan langsung itu hanya pemilihan presiden dan wakil presiden. Sedangkan kepala daerah, baik gubernur-wakil gubernur mapun bupati/walikota dalam UUD disebutkan dipilih secara demokratis.
”Dipilih secara demokratis, bisa diterjemahkan, dipilih secara langsung oleh rakyat, juga bisa diartikan dipilih cukup oleh DPRD menurut tingkatannya,” ujar AM Fatwa, ketika disambangi usai pembukaan acara sosialisasi UUD 1945 dan Ketetapan MPR RI di Palangka Raya, Senin (24/8) malam.
Di jelaskannya, pemilihan kepala daerah secara demokratis yang diterjemahkan menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung dipilih rakyat, seperti dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinilainya tidak sesuai dengan perintah UUD 1945. Namun demikian ia tetap menyerahkan keputusan kepada DPR. ”Jadi kalau kita mau kembali kepada yang lama, cukup pemilihan melalui DPRD, maka diperlukan adanya perubahan UU otonomi itu,” ucapnya.
”Sebenarnya tidak susah asalkan ada kajian. Dari kesimpulan kajian itu bahwa memang lebih epektif, lebih efesien kalau kepala daerah cukup dipilih oleh DPRD. Kemudian ada kajian selanjutnya lagi apakah titik berat otonomi ditingkat provinsi, ditingkat kabupaten kota harus dikaji juga” timpal AM Fatwa.
Lebih lanjut, ia mengemukakan, sekarang ini titik berat otonomi ada di kabupaten/kota, sehingga gubernur itu hanya berperan sebagai koordinator. Meski demikian, katanya, karena gubernur selain fungsinya kepala daerah, juga kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, seharusnya bupati/walikota, walaupun sama-sama dipilih langsung oleh rakyat harus sadar bahwa dia berada dalam koordinasi gubernur.
”Banyak bupati/walikota, karena sama-sama dipilih rakyat secara langsung. Apalagi merasa sebagai kepala daerah otonomi merasa besar kepala, dan tidak menyadari bahwa mereka berada dalam koordinasi gubernur. Inilah salah satu faktor sinergisasi pembangunan didaerah itu terhambat,” imbuhnya.
Ditanya bukankan itu langkah mundur demokratisasi di Indonesia? ya itulah wacana, ada yang mengatakan langkah mundur dalam berdemokrasi, tetapi ada juga yang mengatakan ini kepablasan, karena tidak ada perintah didalam UUD 1945 kepala daerah dipilih langsung.
”Gubernur, bupati/walikota dipilih secara demokratis. Kalau diterjemahkan, bisa dipilih secara langsung, bisa juga dipilih cukup oleh DPRD setempat. Jadi itu semua tergantung hasil dari kajian nanti, dan menyelesaikannya adalah DPR nantinya, tidak perlu MPR,” jawabnya.
Kembali ditanya, pemilihan melalui DPRD, berarti mengembalikan budaya politik ”dagang sapi”. AM Fatwa lantas balik bertanya. Bukankah pemilihan secara langsung tidak terjadi demikian, malah banyak menghamburkan uangnya? Menurut dia awalnya dalam pemikiran pemilihan secara langsung jangan sampai terjadi politik uang tetapi pada prakteknya justru malah terjadi politik ”kerbau”.
”Kerbaukan lebih besar dengan pemilihan secara langsung. Inikan sudah kita alami, pemilihan secara perwakilan melalui DPRD, mapun pemilihan secara langsung. Sekarang ada pemikiran, bahwa sebaiknya pemilihan kembali ke pemilihan melalui perwakilan di DPRD lagi,” pungkasnya, seraya mengajak agar masyarkat sama-sama mewacanakannya. (*)

Tidak ada komentar: