12 Agu 2009

Gubernur Tetapkan Status Quo

Bagi 14 Perkebunan Kelapa Sawit Pembakar Lahan

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Tak ada toleransi bagi perkebunan kelapa sawit nakal. Terbukti land clearing dengan cara membakar langsung ditindak. Demikian penegasan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, menanggapi desakan Walhi Kalteng, agar gubernur segera mencabut izin usaha perkebunan kelapa sawit yang terbukti membakar lahan.
Menurut gubernur larangan membakar sudah sangat jelas di atur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
”Bagi PBS dilarang land clearing dengan cara membakar. Terbukti langsung ditindak tegas. Sangsinya juga jelas, yang pertama pencabutan izin usaha perkebunan dan yang kedua sangsi pidana,” tegas gubernur, di Palangka Raya, Senin (10/8) kemarin.
Menyinggung rilies Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalteng terkait ditemukannya hotspot (titik panas) di 13 perkebunan kelapa sawit berdasarkan Citra Satelit NOAA pada tanggal 31 Juli-5 Agustus lalu. Orang nomor satu di bumi tambun bungai ini mengaku, belum mendapat laporan resmi dari pihak BLH Kalteng.
Meski demikian, ia menegaskan, langkah pertama, pemerintah akan menetapkan status quo terhadap perkebunan kelapa sawit yang ditemukan adanya titik panas. Sementara lebih lanjut melakukan penyelidikan dilapangan untuk memastikan penyebab kebakaran.
”Hingga sampai saat ini saya belum mendapat laporan resmi dari BLH. Namun langkah pertama saya akan menetapkan status quo dulu terhadap perusahan tersebut, sambil menunggu laporan resmi berdasarkan hasil penyelidikan lapangan,” tegas mantan Ketua Komisi II DPR RI, membidangi Hukum, Perundang-Undangan dan Hak Asasi Manusia ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala BLH Provinsi Kalteng Moses Nikodemus merilies, berdasarkan Satelit NOAA , tanggal 31 Juli-5 Agustus ditemukan 21 titik panas di 13 perkebunan kelapa sawit, dan pada tanggal 7 Agustus kembali ditemukan 16 titik panas. Satu diantaranya di lokasi perkebunan kelapa sawit PT Tapian Nadegan Kabupaten Seruyan.
Menyikapi masalah tersebut Walhi Kalteng bereaksi keras. Ia menuding gubernur lamban dan terkesan diam, terkait penanganan terhadap sejumlah perusahan besar suasta (PBS) perkebunan kelapa sawit pelaku pembakaran lahan.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Ari Rompas, perusahaan yang ditemukan membakar lahan seharusnya di cabut izin-nya dan di proses secara hukum. Hal ini menunjukan pemerintah berlaku adil bagi aktivitas perusahaan yang melakukan pembakaran lahan, karena sebelumnya tindakan ini sudah di terapkan kepada masyarakat yang ditemukan atau ditemukan lahanya sedang terbakar.
“Seharusnya pihak yang berwenang segera memangil pihak perusahaan dan mencabut izin perusahaan yang melakukan pembakaran lahan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintahan di Kalteng supaya tidak tebang pilih terhadap para pembakar lahan,” ujarnya, ketika ditemui di ruang kerjanya, Jumat (8/8) kemarin.
Dia menandaskan, pemrintah harus mengambil sikap tegas terhadap perusahan kelapa sawit nakal. Tindakan tegas sudah sepantasnya dilakukan karena kerugian yang diakibatkan oleh pembakaran lahan berdampak pada berbagai aspek, dimana aspek kesehatan dan lingkungan yang tercemar akibat kabut asap yang di timbulkan karena praktek pembakaran.
“Belum lagi kerugian lainya yang berdampak pada aktivitas ekonomi yang secara langsung akan berpengaruh pada perekonomian karena ulah biadab para perekebunan kelapa sawit nakal ini,” tandasnya, gerah melihat perilaku para perkebunan sawit, namun nyaris tanpa tindakan dari bahkan aparat Kepolisian.
Ditegaskannya, aparat Kepolisian dalam hal ini Polda Kalteng dan jajarannya jangan sampai ada kompromi hukum dengan para pelaku pembakar lahan. Seperti yang dilakukan selama ini, perusahan yang melakukan pembakaran dip roses kemudian dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) dengan alasan tidak cukup bukti.
“Sudah jelas kok. Kebakaran ada diwilayah perusahan perkebunan kelapa sawit. Terlepas siapa yang membakar, tetapi itu sudah menjadi tanggungjawab pemilik lahan. Apalagi izinya sudah diberikan pemrintah, yang artinya sudah emnjadi tanggungjawab pemegang izin. Tapi masih bisa saja polisi berkilah tidak cukup bukti. Sangat disayangkan sekali sikap polisi, sementara masyarakat diproses,” beber pria yang akrap disapa rio ini.
Dia menambahkan, pada tahun 2006 lalu Walhi Kalteng pernah menyampaikan pengaduan kepada Polda Kalteng terkait aktivitas pembakaran lahan yang dilakukan PT. Agro Bukit dan PT. Sarana Titian Permata. “Namun tidak diteruskan pengusutanya bahkan di SP -3 kan oleh pihak kepolisian berkaitan laporan yang di sampaikan oleh Walhi Kalteng. Bahkan untuk tahun ini PT. Agro Bukit kembali melakukan pelanggaran hukum yang sama,” imbuhnya.
Tantangan sekarang, ucapnya, pemerintah seharusnya bertindak tegas untuk mencabut izinya perusahan perkebunan tersebut. Sebab terbukti tidak bisa menjaga wilayahnya, yang sudah diberi tanggungjawab oleh pemrintah melalui izin hak guna usaha (HGU), dan izin lokasi.
“Kalau perusahan memang tidak bisa menjaga wilayahnya lagi. Sebaiknya pengelolaan diberikan kepada masyarkat kaum tani saja yang dirampas tanahnya. Walapun demikian, sebagai negara hukum, kepolisian segera menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran supaya masyarakat Kalteng dan Indonesia tidak dirugikan akibat citra buruk prilaku biadab perusahaan,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar: