26 Agu 2009

Awasi Dakwah Rugikan Citra Polisi


Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Upaya kepolisian membatasi ruang gerak penyebaran paham teroris melalui kelompok pengajian yang dibawa oleh anggota Jamaah Tabligh, dan pesantren, mulai menuai kecaman dari sejumlah kalangan elit politik dan umat Islam di Indonesia. Termasuk Wakil Ketua MPR RI AM Fatwa.
“Buat apa polri mengawasi kelompok pengajian. Karena hal itu membuat umat Islam merasa dicurigai dan di awasi sehingga menjadi masyarakat yang mayoritas dicurigai oleh negara,” ujar ketika disambangi usai pembukaan acara sosialisasi UUD 1945 dan Ketetapan MPR RI di Palangka Raya, Senin (24/8) malam.
Menurut AM Fatwa, menilai kebijakan polri merupakan suatu kekeliruan langkah sektoral. Selain itu, kebijakan tersebut sangat merugikan citra kepolisian dan citra pemerintah Indonesia, dimata umat Islam dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
“Saya kira kebijakan Polri tidak dikehendaki oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu kepala kepolisian harus menjelaskan kepada DPR, kenapa harus terjadi pengawasan yang berlebihan terhadap umat Islam,” ungakpnya.
Menyinggung dampak dari pengawasan polri yang berlebihan terhadap kelompok pengajian. AM Fatwa mengutarakan, dampak dari pengawasan yang berlebihan akan terjadi kegelisahan di umat Muslim di Indonesia, dengan demikian berarti merusak stabilitas politik dan satabilitas keamanan di Indoensia.
“Saran saya supaya ditijau kembali kebijkan itu, dan peninjauannya jangan sepotong-sepotong atau separuh-separuh. Bahkan masih ada penjelasan mau merekam segala isi dakwah,” beber matan narapidana politik era orde baru ini, yang kini namanya telah direhabilitasi pemerintah Indonesia.
Ia menyarakan sebaiknya pemerintah Indonesia membentuk badan koordinasi bersama dengan semua pihak yang dapat bekerjasama memberantas dan mencegah terorisme di Indonesia, sehinga tidak perlu terjadi pengawasan yang berlebihan dari polri.
“Kalau Narkoba dianggap sebagai bahaya laten, terorisme juga sebagai bahaya laten. Sehingga sama-sama dibentuk badan koordinasi pemberantasan terorisme yang terdiri dari kepolisian, militer, Departemen Agama, Majelis Ulama, dan Pisikolog,” jelasnya.
“Kenapa pisikolog? Pisikolog itu penting, karena orang-orang yang tersesat masuk dalam terorisme itu masuk dalam jaringan terorisme itu sebenarnya banyak yang dicuci otaknya. Oleh karena itu keberadaan pisikolog masuk dalam badan koordinasi ini sangat penting,” lanjutnya.
Menyinggun kapan pemanggilan kapolri oleh Komisi III DPR RI. Menurut dia harus diagendakan secepatnya, meski periode jabatan DPR RI sekarang hampir berakhir tak menjadi halangan dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan polri.
”Saya kira masih memungkinkan sampai dengan bulan September 2009. Ada suatu rapat kerja mengundang Kapolri untuk memberi penjelasan dan meluruskan kebijakan polri yang sebenarnya, bisa saja terjadi kekeliruan oleh karena itu perlu penjelasan Kapolri,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar: