26 Agu 2009

10 Hari, 10 Ton Garam Pembentuk Hujan di Tabur

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA –
Sedikitnya 10 ton garam pembentuk hujan buatan telah ditaburkan di atas awan bumi Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis), Katingan, Seruyan, dan Kapuas, sejak 16 Agustus 2009 lalu.
Menurut Koordinator Lapangan (Korlap) Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Kalteng Tri Handoko Seto, 10 ton garam pembentuk pembentuk hujan ditabur, terutama pada beberapa daerah yang titik panas dari pantauan Satelit NOOA paling tinggi.
“Kami mengevaluasi titik daerah mana yang titik panasnya paling banyak serta konsentrasi awan. Pada wilayah tersebut kami akan berkonsentrasi menaburkan garam di atas awan untuk mempercepat proses penmebtukan hujan,” ujarnya kepada sejumlah wartwan, ketika dihubungi per telepon, Senin (24/8) kemarin pagi.
Dikemukakannya rencana penaburan garam pada berikutnya, pihaknya akan berkonsentrasi di Pulpis, Katingan, dan Seruyan. Sebab, titik panas terdeteksi oleh Satelit NOOA paling tinggi pada tiga kabupaten tersebut berdasarkan data tanggal 23 Agustus.
“Titik panas terbanyak tanggal 23 Agustus terjadi di Pulang Pisau yakni 24 titik. Selanjutnya, Seruyan 11 titik dan Katingan 10 titik. Kami akan konsentrasi pada tiga daerah tersebut hari ini (kemarin),” jelas salah satu meteorologist Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pusat tersebut.
Lebih lanjut dikemukakannya, saat ini awan sedang menuju ke utara, padahal titik panas terbanyak ada di wilayah selatan. Namun, TMC Kalteng akan memanfaatkan awan marginal. Meskipun nantinya tak terlalu banyak hujan, tetapi dirinya berharap pembentukan awan berlangsung cepat hingga wilayah yang titik panasnya lebih akan akan berkurang.
“Kami terbang (menggunakan pesawat CASA 212-200) mulai pukul 11.30 WIB. Rencananya penerbangan dilakukan dua kali yakni ke Pulang Pisau dulu baru ke Katingan dan Seruyan. Sekali terbang kami membawa 800 kilogram garam, jadi total yang ditabur hari ini (kemarin) 1,6 ton,” ucapnya.
Ditanya dari mana data titik panas diperoleh. Tri Handoko Seto, yang akrap disapa Seto, mengungkapkan, mereka peroleh data titik panas dari Departemen Kehutanan (Dephut) RI di Jakarta. Data tersebut sama dengan informasi yang ada di situs resmi Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kalteng yakni www.pil.or.id serta Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalteng.
“Data tersebut diperoleh pada hari sebelumnya. Misalnya, untuk penerbangan hari ini TMC Kalteng mendapatkan data sehari sebelumnya di sore hari. Dari situ akan dipelajari lokasi mana saja yang hotspots-nya paling banyak, kondisi awan seperti apa, cuacanya bagaimana, sehingga disusun strategi penerbangan,” jelasnya.
Di tempat terpisah, Kepala BKSDA Kalteng Mega Hariyanto mengatakan, pihaknya saat ini tengah melakukan uji petik areal bekas kebakaran. Tujuannya, untuk melihat apakah hotspot yang terpantau cocok untuk kondisi riil di lapangan yakni terjadi kebakaran atau tidak.
Selanjutnya aktivitas setelah terjadi kebakaran yaitu apa yang digarap atau hanya dibiarkan, bekas kebakaran rapi atau menyebar kemana-mana. Juga, untuk mengetahui apakah ada petugas pemadam kebakaran pada wilayah yang menjadi uji petik.
“Kami melakukan uji petik masing-masing 10 titik di Kotawaringin Barat dan Kapuas tahun 2009. Diharapkan hasilnya nanti dapat menggambarkan apakah kebakaran hutan dan lahan dilakukan untuk pertanian, PBS (perusahaan besar swasta), atau hanya menjadi tanda di lapangan,” ungkap Mega kepada beberapa wartawan di ruang kerjanya, Senin (24/8) siang.
Jika hasil uji petik akurat, dirinya berharap pihak perguruan tinggi dapat melanjutkan analisa. Sehingga, hasil tersebut bisa digunakan untuk manajemen penanganan kebakaran hutan dan lahan pada tahun-tahun mendatang.
“Pegangan kami dalam uji petik adalah peta rawan kebakaran dan hotspot. Untuk diketahui, Satelit NOOA akan mendeteksi adanya titik panas pada radius satu kilometer (km) dengan suhu 45 derajat celcius. Biasanya 90 persen pantauan Satelit NOOA sudah kebakaran atau titik api, kecuali untuk daerah pemukiman seng dan danau karena pantulan panas,” pungkasnya. (*)

Tidak ada komentar: