9 Apr 2009
RTRWP Kalteng Kontra Lingkungan
Laporan: Alfrid U
PALANGKA RAYA-Carutmarutnya pengelolaan tata ruang yang coba dilegalisasi pemerintah daerah melalui perubahan RTRWP Kalimantan Tengah (Kalteng), menjadi perhatian serius lembaga pemerhati lingkungan, seperti Walhi Kalimantan Tengah (Kalteng), dan Mitra Lingkungan Hidup (Mitra LH).
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Ari Rompas, loby politik antara Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang dengan Mentri Kehutanan, MS Kaban mengurangi luas kawasan hutan lindung dan taman nasional, syarat dengan kepentingan untuk mengakomodir sejumlah perrizinan yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan.
Dia mencontohkan, ada dua perusahan pertambangan yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan lindung, yakni perusahan PT. Asmin Koalindo Tuhup yang berada di Kabupaten Murung Raya, dan perusahan PT. Kalimantan Surya Kencana yang berada di Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Katingan.
”Dua perusahan tersebut, masing-masing memiliki areal konsensi PKP2B, PT. seluas 21.630 Ha ( blok studi ) dan 18.890 Ha ( Blok Eksplorasi) yang berada di dan PT. Kalimantan Surya Kencana seluas 120.900 Ha yang berada di Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Katingan, ” ujarnya, di Palangka Raya, Selasa (7/4) kemarin.
Turut mendapingi pria yang akrap disapa Rio ini, adalah Direktur Eksekutif Mitra LH, Kusheritano. Kepada Radar Sampit mengemukakan, kawasan tersebut berada didaerah cathment area (tangkapan Air) yang merupakan kawasan yang seharusnya diproteksi dari kegiatan industri yang ekstraktif yang merusak seperti pertambangan.
Menurut Rio, hal tersebut penting mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan penyangga yang melindungi beberapa daerah aliran sungai, seperti Barito, Kahayan, dan Katingan yang merupakan wilayah pemukiman ribuan masyarakat Kalteng.
”Dengan menyelamatkan kawasan hulu akan melindungi rakyat dari bencan ekologi, sesuai yang diatur dalam Pasal 1 ayat (8) UU No. 41/1999 yang menyebutkan, Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Mitra LH, yang akrap disapa Itan, menambahkan, proses legalisasi kawasan tersebut masih cacat hukum karena pengelolaan ruang melaui RTRWP belum disahkan sebagaimana yang diatur dalam UU No 26 tentang penata ruangan dan UU No. 41 Tentang Kehutanan thn 1999.
Disisi lain juga terjadi inkonsistensi pimpinan provinsi Kalimantan Tengah dimana gubernur telah mengeluarkan suratnya pada tanggal 3 juli 2007 Nomor 522.11/1089/EK yang di tujukan kepada Bupati dan Walikota yang salah satu pointnya adalah menangguhkan seluruh proses perizinan yang berkaitan dengan izin pemanfatan kawasan sebelum ada penunjukan kawasan hutan dari Menhut dan disahkannya RTRW Kalteng.
”Sangat ironis sekali gubernur telah menerbitkan 4 surat rekomendasi terhadap izin pemanfatan kawasan hutan kepada PT. Asmin Koalindo pasca suratnya tersebut. Hal ini menunjukan tidak konsitennya A. Teras Narang sebagai gubernur,” tegas Itan.
Itan yang juga mantan Defuti Direktur Walhi Kalteng ini, menandaskan, bahwa dapat dipastikan upaya tersebut mengarah pada skenario ahli fungsi kawasan, karena untuk melakukan kegiatan eksploitasi dihutan lindung tidak boleh dilakukan dengan metode tambang terbuka (openpit mining) yang tentunya akan membutuhkan teknologi yang tinggi dan biaya yang mahal.
”Sehingga untuk tidak mengalami kerugian proses kawasan tersebut kemudian diusulkan perubahan melalui RTRWP dengan melakukan pengalihfungsian dan dan kawasan tersebut dikeluarkan dari hutan lindung,” beber Itan, yang juga diamini Direktur Eksekutif Walhi Kalteng.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengungkapkan, salah satu persoalan dari RTRWP yang sebelumnya sudah sering disurakan oleh Walhi, masih banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat sehingga untuk memastikan hukum berjalan dengan baik maka mesti dipastikan hukum harus ditegakan dengan.
”Sebagaia kepala daerah yang mengerti hukum tentunya hal ini tidak dibiarkannya. Untuk menegakan hukum, kami minta gubernur mencabut izin perusahaan yang melanggar dan mengusut tuntas pemberi izin yang mengakibatkan penderitaan rakyat,” imbuhnya, seraya menimpali.
”Pengelolaan ruang yang adil adalah menggutamakan distribusi sumber-sumber penghidupan yang adil bagi rakyat, memperhatikan daya dukung ekologi serta konsisten dan taat dalam penegakan hukum,” timpal Rio, yang juga mantan Ketua Umum Mapal Comodo FE Unpar ini. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar