26 Apr 2009

Gubernur Nilai BPN Tidak Adil

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Keluhan masyarakat terhadap sulitnya memperoleh legalitas tanah berupa sertifikat, dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), ternyata menjadi perhatian Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang. Bahkan, ia menilai lembaga yang berwenang menerbitkan akta surat tanah tersebut tidak adil.
Menurut Gubernur Kalteng, ketidak adilan nampak dari enggannya BPN menerbitkan sertifikan tanah bagi masyarakat lokal dibandingkan mnerbitkan sertifikat tanah bagi lokasi transmigrasi dan perusahan, seperti perkebunan kelapa sawit.
"Pemberian sertifikat tanah untuk rakyat sepertinya sulit sekali, sebaliknya bagi warga transmigran mudah diberikan,"ujar suami dari Mortining Teras Narang di Palangka Raya, baru-baru ini.
Dikemukakannya, BPN dengan begitu mudahnya menerbitkan sertifikat tanah untuk perusahaan perkebunan dan pertambangan di Kalteng. Di sisi lain, warga lokal yang berupaya mengajukan permohonan sertifikat tanah miliknya selalu kesulitan dalam mengurus prosesnya, karena berbagai macam alasan dari BPN.
Terkait dengan hal tersebut, orang nomor satu dibimi tambun bungai tersebut meminta BPN secara kelembagaan untuk memperhatikan kebijakan yang dinilai tidak adil tersebut. "Saya ingin agar bagaimana warga kita sendiri bisa punya kewibawaan, sehingga tidak mudah dikesampingkan seperti yang terjadi pada proses sertifikasi tanah itu," katanya.
Ditempat terpisah, staf Ahli Gubernur Kalteng Bidang Hukum dan Politik, Siun Jarias, mengatakan, hampir tidak ada sejengkal pun tanah adat di Kalteng yang diakui sebagai secara yuridis akibat ketiadaan payung hukum.
”Semua tanah adat di wilayah itu tidak tercatat dan tidak memiliki surat tanah resmi semacam sertifikat. Dampaknya, sebagian besar tanah adat di Kalteng mengalami sengketa penggunaan tanah antara warga dengan investor dengan jumlah kasus mencapai 100 kasus sengketa,” bebernya.
Tanah adat di Kalteng, ungkap Siun, selama ini terbagi dalam tiga klasifikasi, meliputi tanah adat bersama, tanah adat perseorangan dan hak-hak adat. "Rumah-rumah warga di pedalaman yang tidak bersertifikat dan kebunnya itu semua termasuk tanah adat, di samping situs, tempat sakral dan kuburan adat," imbuh Siun. (*)

Tidak ada komentar: