23 Apr 2009

Masa FPR Kalteng Blokade Bundaran Palangka



Bebaskan Bundaran Dari Polusi Selama 30 Menit

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Dalam rangka memperingati ”Hari Bumi”, Rabu (22/4) kemarin, sedikitnya 500 masa Front Peduli Rakyat memblokade bundaran besar. Mereka yang tergabung dari 20 lembaga tersebut momblokade kawasan bundaran selama 30 menit, mulai pukul 09.15 hingga pukul 09.45 WIB.
Menurut Koordinator aksi yang juga Koordinator FPR Kalteng, Linggar Jati, aksi memblokade kawasan bundaran besar terkait dengan bebas polusiselama 30 menit, dalam rangka peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 April.
”Alasannya bagaimana wilayah Kalteng ini agar bebas dari polusi, kendaran bermotor, industri dan bentuk kegiatan lainnya yang menghasilkan polusi untuk tidak mengeluarkan polusi paling tidak selama 30 menit,” ujar Linggar, kepada sejumlah wartawan, disela-sela aksi.
Dari pantauan Radar Sampit, selama diblokade, kawasan jantung kota Palangka Raya tersebut benar-benar bebas dari polusi kendaran bermotor, baik kendaraan roda dua mapun kendaraan roda empat, bahkan bebas polusi asap rokok.
Kepada Wartawan, Koordinator FPR, mengemukakan, kondisi bumi di Kalteng benar-benar sudah rapuh, tingkat kerusakannya cukup tinggi. Saat ini perijinan untuk perkebunan kelapa sawit saja sudah mencapai 323 buah, mengusasai lahan lebih dari 4,052 juta hektar.
Selain itu, disektor kehutanan yang terdiri dari ijin HPH, IUPHHK, HTI, IPK dan IPHHK dengan jumlah 759 buah ijin konsensi, dengan luas kawasan lebih dari 4,9 juta hektar . ”Yang lebih parahterhadap kerusakan lingkungan adalah ijin tambang, karena menggunakan sistem open pit mining atau tambang terbuka. Ijin tambang hingga tahun 2007 mencapai 563 ijin dengan luas lebih dari 3,3 juta hektar,” katanya.
Melihat dari kondisi tersebut, dari total wilayah dataran Kalteng lebih dari 15, 3 juta hektar, 80 persennya wilayahnya sudah diberikan dan dikuasasi oleh investasi asing, sementara sisanya untuk hutan kawasan konservasi, seperti hutan lindung dan taman nasional.
”Ini berarti pengusaan tanah sebesar-besarnya diberikan kepada pihak investasi sementara rakyat Kalteng tidak mendapatkan keuntungan dari investasi, justru ancaman akan menjadi landless alias tidak bertanah, dan akan terjadi kemiskinan yang absolut. Padahal melihat komposisi masyarakat Kalteng penduduknya lebih banyak bekerja disektor agraria,” ungkap Linggar.
Selain itu, FPR Kalteng, ucap Linggar, mensinyalir ada motif tertentu dibalik revisi RTRWP Kalteng. Terutama motif terkait investasi, tambang, perkebunan dan kehutanan. Oleh karenanya, kata Linggar, FPR Kalteng, mendesak aparat terkait mengusut pelanggaran tata ruang. ”Jangan ada pemutihan, dan penjarakan yang memberi ijin,” tegasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, pemerintah harus menghentikan pemberian ijin investasi yang merusak lingkungan. Hentikan pemanasan global, kurangi emisi negara maju, karena saat ini bumi benar-benar rapuh akibat dari kerusakan lingkungan.
Sementara itu, Sekretaris Jendral (Sekjen) Sarekat Hijau Indoensia (SHI) Kuesnadi Wirasaputra, menambahkan, pemerintah setempat harus meninjau kembali ijin-ijin pertambangan, ijin perkebunan kelapa sawit, ijin yang merusak dan merampas hak rakyat.
Disisi lain, Kuesnadi mengkritik kebijakan dibidang konservasi yang berbasiskan kawasan dengan masuknya pihak asing dalam pengelolaan kawasan, seperti taman nasional dan hutan lindung. Menurut dia, konservasi dapat dimaknai sebagai hal yang scientitis yaitu ilmu yang masih menyerap konsep yeloow stones ala Amerika.
”kalau konservasi menganut gaya Amerika, yang mensyaratkan proteksi kawasan untuk konservasi, tentunya akan mengusir masyarkat yang sudah hidup lama di kawasan tersebut. Hal ini tidak boleh dibiarkan, sebab akan merugikan masyarakat sekitar kawasan,” tambah Kusnadi.
Dikemukakannya, nilai-nilai pengelolaan kawasan konservasi berbasiskan kearifan lokal yang selama ini sudah dilakukan turun-temurun dipinggirkan dan bahkan dimusnahkan oleh ilmu pengetahuan yang justru tidak ilmiah.
”Lembaga-lembaga konservasi ini selalu menggunakan tameng untuk menyelamatkan lingkungan padahal sesungguhnya yang dikejar adalah motif ekonomi alias bisnis konservasi dan monopoli tanah yang merukakan basis sosial feodalistik yang masih dipertahankan oleh kapitalisme melalui kompradornya yaitu lembaga konservasi international,” beber Kuesnadi.
Menyinggung soal masterplan PLG. Kuesnadi, justru menyebutkan, masterplan tersebut merugikan masyarkat setempat, karena masterplan yang dibuat tersebut tidak mengatur hak masyarakat lokal, dengan demikian masyarkat tidak meiliki hak atas kawasan PLG, padahal masyarkat setempatlah yang paling menerima dampak dari PLG.
Dijelaskannya, konservasi bermotif ekonomi adalah, program Reduction Emissin Degradation and Deforestations (REDD). Saat ini REDD tersebut masuk dalam masterplan PLG, denganmenggandeng pihak swasta untuk merehabilitasi kawasan tersebut.
”Fakta ini menunjukan kawasan PLG dijadikan kawasan yang bernilai ekonomi karena masuknya pihak swasta dalam pengelolaannya yanga kaan lebih mengutamakan keuntungan daripada nilai sosial dan keanekaragaman hayati dari kawasan tersebut. Ini merupakan pengalihan tanggungjawab pemerintah kepada pihak swasta yang akan berdampak buruk bagi lingkungan, dan mengancam masyarakat lokal,” imbuhnya. (*)

Tidak ada komentar: