18 Jan 2010

Mencari Uang Dari Carbon Trading

Menjawab Keraguan Gubernur Kalteng (1)

Oleh: Alfrid Uga

ADA
keraguan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang terhadap kualitas wartawan di Kalteng dalam memahami carbon trading atau perdagangan carbon. Keraguan itu tersirat dalam pernyataan gubernur, yang meminta wartawan hati-hati menulis pengertian carbon trading.
Tidak ada yang salah peringatan dari gubernur, justru meningkatkan kehati-hatian wartawan menyampaikan informasi ke publik. Sebab jika salah, efeknya bisa menyesatkan rakyat. Hanya saja tidak tepat, sebab biasanya wartawan menulis apa yang di ungkapkan narasumber.
Ketika itu di Kantor DPRD Kalteng, usai rapat paripurna dewan, sejumlah wartawan menanyakan gubernur, termasuk saya. Fokus pertanyaan terkait informasi apa yang dibawa gubernur setalah pulang dari Kompenhagen, Denmark. Mengikuti Konferensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC).
Gubernur hadir disana mendampingi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY sendiri salah satu peserta konferensi dari 120 pemimpin Negara didunia yang di undang Badan Perubahan Iklim PBB atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Menurut gubernur, ada beberapa-berapa usulan dari negara-negara berkembang seperti Indonesia telah disepakati dalam forum tersebut, yakni terkait kompensasi dari negara-negara maju kepada negara-negara yang masih memeiliki cadangan hutan yang relatif cukup besar, seperti Indonesia.
“Forum telah setuju dengan usulan dari Bapak Presiden kita. Bahwa harus ada insentif bagi negara-negara yang mampu menjaga hutannya. Karena selama ini kita diminta menjaga hutan tetapi tidak ada kejelasan soal kompensasi,” ucap gubernur menjawab pertanyaan wartawan.
Lebih lanjut gubernur juga mengatakan, forum tersebut juga sepakat memberi insentif kepada Indonesia yang masih memeiliki cadangan hutan yang relatif cukup besar yang dikenal sebagai “paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis.
“Kalteng yang telah ditetapkan sebagai daerah pilot project Reduction Emisi From Deforestasi and Degradation (REDD) berhak mendapat intensif,” jelas gubernur yang kala itu baru dua hari datang dari Kompenhagen, Denmark.
Setelah penjang lebar gubernur menjelaskan hasil pertemuan. Sayapun mencoba melakukan pendalaman informasi. Sebagai wartawan saya tidak ingin menyampaikan informasi sepotong-sepotong kepada publik, apalagi Kalteng ditetapkan sebagai daerah pilot project REDD.
Pertanyaan saya sangat simpel, terkait kesiapan pemerintah daerah melaksanakan Skema REDD, kemudian dimana saja kawasan hutan atau gambut yang ditetapkan sebagai kawasan pilot project REDD, termasuk potensi kawasan. Lantas gubernur menjawab. “Wartawan harus hati-hati menulis apa yang dimaksud dengan carbon trading. Ini masalah teknis, perlu dipahami carbon tidak hanya dihasilkan dari hutan tetapi juga lahan gambut,” ucap gubernur.
Dari jawababan gubernur, saya tidak mendapat jawaban atas pertanyaan tadi. Akhirnya sayapun menyampaikan informasi seadanya kepada publik. Hal ini mengingatkan saya kembali kepada pemahaman seorang profesor dari Perguruan Tinggi (PT) terbesar di Bumi Tambun Bungai ini. Ketika itu, pada tahun 2006 di forum seminar dia mengatakan. “Kalteng memiliki potensi carbon yang cukup besar dari hutan dan lahan gambut,” ungkapnya.
Lalu ia juga mengatakan, tanpa menjelaskan bagaimana mekanisme perdagangan karbon itu. “Kalteng akan mendapat uang jutaan dolar dari hasil berdagang karbon. Oleh karena itu jagalah hutan dan gambut kita dari kerusakan,” lanjutnya.
Dari pemahamannya seorang profesor yang sempit terhadap perdagangan karbon, ada yang menggelitik, terutama bagi kami-kami dari lembaga lingkungan hidup (Walhi Kalteng) yang sudah tidak asing lagi dengan isu carbon trading.
Dihadapan forum seminar dia mengatakan. “Carbon-carbon yang dihasikan dari hutan atau lahan gambut dikumpul dan dijual keluar negeri,” ungakap seorang profesor tersebut. “Memangnya gas elpiji,” celetuk teman saya, kala itu duduk disamping, sambil terkekeh-kekeh tertawa. Sayapun ikut tertawa, karena memang lucu.
Beberapa hari yang lalu seorang teman, dia aktivis lingkungan dan masyarakat adat yang cukup dikenal di Kalteng ini. Bertanya kepada saya melalui pesan singkat (SMS), tentang kawasan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng sebagai kawasan pilot project REDD.
Bagi saya pertanyaan tersebut menarik. Bayangkan, seorang aktivis lingkungan, demikian saya seorang wartawan yang juga pernah bekerja di lembaga lingkungan hidup, belum mengetahui lokasi persis kawasan yang ditetapkan pemerintah daerah sebagai kawasan pilot project REDD. Kendati gaung REDD di Kalteng sudah mendunia.
Kalau saja aktivis lingkungan belum tahu, apalagi publik Kalteng. Itu baru lokasi, belum lagi apa yang dimaksud dengan carbon trading, pemanasan global, efek rumah kaca, Skema REDD, dan Climate Change. Makin rumit untuk dipahami masyarakat. Bukankah ini dampak kurangnya sosialisasi dari pemerintah?
Kembali ke pertanyaan seorang teman, saya mencoba memberi jawaban. Karena pertanyaan yang sama pernah saya lontarkan kepada gubernur dan saya belum mendapat jawaban, dengan singkat saya menjawab pertanyaan yang dikirim lewas pesan singkat.
“Untuk pemerintah provinsi, kawasan yang ditetapkan masih belum diketahui dengan pasti. Namun, sepengetahuan saya, BOS Mawas, WWF, Cintrop dan Wetland Internasional, meliputi kawasan eks PLG telah mengusulkan kawasannya masing-masing kepada Depatemen Kehutanan untuk dijadikan sebagai kawasan pilot project REDD”.
Menjawab keraguan gubernur, saya berhasryat menulis membagi informasi kepada publik. Bukan maksud saya ingin menunjukan bahwa saya paham dengan carbon treding, tidak seperti yang diragukan gubernur. Sama sekali tidak, ini murni keprihatinan saya, karena pemerintah menyampaikan informasi yang sepotong-sepotong kepada publik. Bayangkan seorang professor saja sesat pemahamannya mengani carbon trading, apalagi masyarakat.
Melalui tulisan ini, saya berbagi informasi, apa yang saya ketahui dari referensi yang saya baca tentang carbon trading, pemanasan global, efek rumah kaca, Skema REDD, dan Climate Change. Lantas, diperkirakan berapa ton kemampuan hutan dan lahan gambut yang tersisa di Kalteng saat ini mampu menyerap CO2.
Kemudian berapa insentif yang bakal Kalteng terima dari negara-negara maju yang telah meratifikasi ketentuan Protokol Kyoto, yang merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Lalu berapa potensi, kerugian Kalteng akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang konsuntif, tanpa memperhatikan kesimbangan alam selama ini. Semua akan saya bagi informasi kepada publik. Mudah-mudahan masyarakat tidak sesat pemahamannya seperti seorang profesor. (*/Radar Sampit)

Tidak ada komentar: