1 Mei 2009

Hatir: Stop Buruh Kontrak di Kalteng


Terkait Peringatan Hari Buruh Internasional

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng) pada peringatan ”May Day” atau yang lebih dikenal dengan Hari Buruh Internasional yang jatuh hari ini, Jumat (1/5), meski tak menurunkan masa, namun menyampaikan beberapa tuntutan.
Tuntutan tersebut antara lain, penghapusan sistem outsourching dan pekerja kontrak, penetapan upah minimum layak sesuai dengan kebutuhan hidup layak, pembentukan peradilan perburuhan yang mandiri sebagai pengganti PPHI.
Selain itu, menuntut penghentian pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh dan juga mendesak penindakan tegas dan proses hukum terhadap perusahaan yang tidak mengikut sertakan pekerjanya dalam program Jamsostek sebagi tindak pidana.
Menurut Koordinator Wilayah KSBSI Kalteng, Hatir Sata Tarigan, buruh outsourching saat ini masih banyak diperusahan suwasta mapun di badan usaha milik negara (BUMN), seperti perusahan listrik negara (PLN), Bank mapun perusahan lainnya yang ada di Kalteng saat ini.
Hatir beralasan, buruh outsourching menguntungkan pihak kedua, dalam hal ini perusahan yang membawahi buruh yang kemudian mengontrakan ke pihak pertama seperti Bank dan PLN.
”Saya yakin didalam itu banyak permasalahan. Terlihat buruhnya berenegi dengan memakai pakaian karyawan, tetapi sebenarnya mereka menderita karena tidak jelas masa depannya karena mereka buruh outsourching. Inilah yang kita tuntut harus distop” ujar Hatir, ketika ditemui di Kantor DPD Partai Buruh Provinsi Kalteng, Kamis (30/4) kemarin.
Permasalah yang sama dengan buruh kontrak, lanjut Hatir, sebab buruh kontrak, seperti buruh perkebunan, buruh pabrik dan buruh diperusahan lainnya tidak jelas masa depannya. Misalnya, jaminan pendidikan anak-anak, jaminan untuk rumah, jaminan untuk kesehatan, dan jaminan pensiun.
”Buruh ada yang dikontrak setahun dan ada juga dikontrak dua tahun, kemudian disambunglagi tanpa jelas peningkatan karirnya, meski sudah berpuluh-puluh tahun jadi buruh kontrak di perusahan tersebut,” ungkap Hatur yang juga Katua DPD Partai Buruh, Provinsi Kalteng ini.
”Menurut KSBSI, hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita serikat buruh kerna selalu dikontrak, sehingga tidak jelas masa depannya,” timpal anggota DPRD Kota Palangka Raya, yang terpilih untuk kedua kalinya pada Pemilu Legislatif 9 April lalu.
Terkait dengan banyak buruh perusahan perkebunan di Kalteng yang mem-PHK buruh beberapa waktu lalu. Hatir mendesak agar perusahan menyetop PHK terhadap buruh. Menurut Hatir, PHK hanya terjadi apabila buruh tersebut terlibat kriminal atau perusahan bangkrut.
”Kalaupun perusahan bangkrut, kemudian buruh di PHK. Perusahan harus bisa menunjukan bahwa perusahan tersebut bangkrut dengan dibuktikan audit dari akuntan publik, jangan hanya berdasarkan pengumuman saja. Itulah alasannya yang perusahan bisa mem-PHK buruh. Namun, yang terjadi sat ini banyak buruh di PHK tanpa alasan yang jelas” imbuhnya.
Menyinggung banyaknya karyawan kontrak atau karyawan honorer dilingkungan kantor pemerintah tidak sesuai dengan UMR. Hatir mengatakan bagaimana investor bisa menerapkan aturan dari pemerintah kalau saja pemerintah melanggar atauran yang dibuatnya sendiri.
”Terkait dengan itu, dalam ruang lingkup kota, saya juga sudah menghimbau Pemintah Kota Palangka Raya, terutama dinas atau instansi yang menerima staf kontrak atau pegawai honorer untuk membayar sesuai dengan UMR Provinsi. Selain itu pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak mereka,” katanya.
Hatir menambahkan, untuk investor asing yang ada di Kalteng saat ini, entah mereka sebagai penanam modal atau sebagai mitra kerja, hendaknya mentaati peraturan tertang perburuhan yang ada dan berlaku di Indoensia. ”Jangan bawa gaya mereka seperti dinegaranya. Ini banyak terjadi di Kalteng, seperti di Kotawaringin Timur, Kotawaringn barat. Memperlakukan buruh tidak sesuai dengan aturan perburuhan,” tegas Hatir.

Buruh Rentan Penindasan
SECARA terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Ari Rompas menilai, buruh dan tani merupakan salah satu kelas sosial yang sangat rentan terhadap segala bentuk eksploitasi dan penghisapan pemodal perusahan besar seperti perkebunan.
Padahal, menurutnya, dibanyak belahan dunia buruh merupakan salah satu golongan yang paling besar, misalnya di Indonesia, komposisi buruh dan tani merupakan yang dominan dari penduduk Indonesia, namun nasib mereka justru menggenaskan.
Segala bentuk eksploitasi dilakukan oleh majikan satuan kapitalis dimulai dari hubungan kerja dan kerja-kerja produksi yang mempraktekan kerja-kerja penindasan terhadap buruh. Dalam hubungan kerja buruh hanya mengandalkan tenaga dan kemudian mendapat upah dari hasil kerja mereka, sementara situan kapitalis mendapatkan keuntungan dari nilai lebih dan produk lebih dari kerja yang dilakukan oleh buruh.
”Bahakan banyak hak-hak politik buruh dipasung karana kepentingan kapitalis dalam mempertahankan hubungan dengan birokrasi dan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Hal ini terjadi pada pemilu lalu, banyak buruh dipaksa untuk memilih parpol atau caleg tertentu, dibawah ancaman pemecatan,” beber pria yang akarap disapa Rio ini.
Rio mengemukakan, kondis buruh kebun dan tani tersebut merupakan konsdisi realitas yang sedang di alami oleh kaum buruh di perkebuanan. ”Jadi hampir segala aspek mereka di kuasai dan tergantung pada system pekebunan skala besar tersebut,” imbuhnya.
Oleh karenanya, Rio menegaskan, tidak ada jalan lain buruh untuk keluar dari penindasan dan penghisapan ekonomi oleh investor atau pemodal, selain menghimpun kekuatan melaui organisasi untuk mencapai kesejahteraan dan kedaulatan dilapangan ekonomi maupun politik.
”Ketrampilan dan pendidikan yang rendah menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi buruh kebun hari ini sehingga mereka hanya memiliki tenaga untuk dijual ke perushaan perkebuan, sayangnya kesadaran yang ada hanyalah kesadaran pasrah akan keadaan sehingga sangat sulit keluar dari penghisapan yang di alami oleh buruh kebun/tani ini,” ucap Rio.
Kembali ditegaskannya, kekuatan politik harus di tingkatkan menjadi kualitas minimal dengan persatuan dan modal utama sebagai kelompok yang paling dominan di masyarakat indonesia untuk menghimpun kekuatan politiknya. ”Sejarah panjang sejak masuknya kolonialisme di Indonesia dengan mempekerjakan buruh di perkebunan yang terkenal dengan koeli koentrak (buruh kontrak, red) masih berlangsung hingga saat ini,” imbuh Rio.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, jelas Rio, sangat liberal dan bersandarkan pada mekanisme pasar tenaga kerja secara terbuka, jelas mengurangi standar perlindungan buruh, dan peran negara sebagai pelindung pun semakin dihilangkan, dimana buruh dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal.
“Seharusnya kaum buruh dan tani sudah sadar akan kondisi dan situasi ini, demikian dengan masyarkat secara umum, namun banyak berdiam diri dan pasrah akan keadaan sehingga terkesan masyarakat kita sadar atau tidak sadar, juga mengaminkan perbudakan sebagai sebuah kewajaran sehingga mengurangi kepekaan kita melihat penindasan dari pemilik modal,” imbuh Rio. (*)

Tidak ada komentar: