20 Mei 2009

Terbukti HP Dialih Fungsi, Kepala Daerah Harus Dipidana


Terkait Revisi RTRWP Kalteng

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Selangkah lagi revisi rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah (Kalteng) di sahkan. Pembahasan ditingkat Departemen Kehutanan (Depsut) sudah rampung dan tinggal menunggu hasil pembahasan ditingkat DPR RI, kepastian tersebut juga disampaikan Mentri Kehutanan (Menhut) MS Kaban.
Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang menyambut baik, bahkan ia menyebutkan luasan kawasan hutan Kalteng bertambah dengan komposisi luas hutan 56 persen, sedangkan 43 persen wilayah kawasan untuk peruntukan lain dari laus privinsi Kalteng sebesar 15.356.700 hektar.
Menanggapi hal tersebut, lembaga pemerhati lingkungan, seperti Save Our Borneo (SOB) Kalimantan, nampaknya tak betigitu senang. Bukan karena RTRWP segera disahkan atau karena luasan bertamabah. Namun, karena proses hukum tak berjalan dengan baik, terkait ribuan hektar hutan produksi yang dikonfersi menjadi kawan perkebunan secara illegal.
”RTRWP ini sejak awal bermasalah, karena ada beberapa ribu hektar kawasan hutan, berdasarkan Perda RTRWP Nomor 8 tahun 2003 yang di konfersi menjadi kawan non hutan secara illegal. Proses kemudian bahwa ada penambahan kawasan hutan, bagi kami bukan itu supstansinya, akan tetapi karena ini merupakan prodak hukum, maka juga harus dilakukan penegakan hukum,” ujar Koordinator SOB, Nordin, ketika ditemui di di kantornya, Selasa (19/5) kemarin.
Kenapa harus dilakukan penegakan hukum, ucapnya menimpali, kebijakan pemerintah daerah memberikan ijin perkebunan di kawasan hutan produksi secara tidak resmni atau melanggar hukum dengan mengkonversi kawasan hutan produksi menjadi kawasan perkebunan, sesungguhnya harus diambil tindakan hukum juga.
”Bahwa kemudian prodak hukum berupa perda dapat berjalan, itu merupakan keniscayaan, tetapi juga proses hukum harus ditegakan. Jika proses-proses konversi kawasan hutan produksi menjadi kawasan perkebunan melalui revisi RTRWP yang konon katanya sudah disetujui oleh Menhut, lalu bagaimana dengan konfersi hutan secara illegal yang dilakukan pada waktu itu,” ungkap Nordin.
”Ini yang harus dijelaskan oleh pemerintah daerah kepada publik. Pemerintah wajib menjelaskan, apakah dosa-dosa masa lalu diputihkan, kalau toh kemudian diputihkan, siapa saja pejabat yang terlibat mengkonversi kawasan hutan secara illegal, dan perusahan apa saja yang masuk dalam kawasan hutan produksi, agar masyarkat dapat ikut terlibat mengontrol,” timpalnya.
Mantan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng selama dua periode ini, menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang terkesan bungkam. Menurut Nordin, para penegagk hukum seharusnya jeli, dan mengikuti proses-proses revisi RTRWP, bukan hanya menungu laporan, karena konfersi hutan secara ilegal untuk perkebunan di Kalteng bukan merupakan delik aduan.
”Menurut saya itu sangat sederhana kalau memeng aparat penegak hukum mau dan jeli melihat kasus-perkasus dalam alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan secara illagl, mereka tak perlu menunggu laporan memprosesnya terkait dengan pelanggaran-pelanggaran dimasa lalu itu,” imbuhnya.
Dia menambahkan, revisi RTRWP tidak terlepas dari adanya persoalan, kenapa harus direvisi, revisi dilakukan karena konfersi kawasan hutan untuk mengakomodir kawasan perkebunan yang sudah terlanjur diberikan ijinnya kepada para investor perkebunan.
Oleh karenya, Nordin berpendapat, penyelesaiyannya RTRWP bukan hanya dengan merevisi Perda RTRWP Nomor 8 tahun 2003 saja, akan tetapi lebih dari itu, yaitu harus dibarengi dengan penegakan hukum kepada para pelaku, dalam hal ini kepala daerah dan pengusaha perkebunan.
”Karena revisi dilakukan untuk mengakomodir wilayah perkebunan, maka pemerintah harus membongkar kepda publik apa yang terjadi sebenarnya dibalik revisi tersebut, supaya masyarakat tau dan bisa menjadi alat kontrol kedepan dalam menjalankan Perda RTRWP yang baru” pungkas Nordin. (*)

Tidak ada komentar: