5 Mei 2009

Kalteng Cerdas Dinilai Sekedar Isapan Jempol

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Cita-cita pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk menciptakan Kalteng Cerdas, nampaknya masih sebatas isapan jempol. Buruknya sarana dan prasarana pendidikan masih menjadi potret buram dunia pendidikan di Kalteng. Belum lagi ditambah persoalan penyebaran guru yang kurang, terbukti dengan jumlah guru yang minim di pedesaan sementara guru di kota menumpuk.
Demikian dikatakan pengamat pendidikan, hukum dan politik, yang juga dosen tidak tetap di Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (FH Unpar), Donny Y. Lasedauw, ketika dibincangi Radar Sampit diruang staf ahli DPRD Provinsi Kalteng, Senin (4/5) kemarin.
Sebagai sarana menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, menurut Donny, infrastruktur pendidikan merupakan salah satu penunjang penting yang dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menghasilkan kualitas kegiatan belajar mengajar yang baik.
Meski demikian, ia menilai dalam beberapa tahun ini pembangunan infrastruktur pendidikan sudah mulai. Namun harus ditingkatkan lagi, terutama pembangunan infrastruktur pendidikan di tingkat desa-desa terpencil yang hingga saat ini masih belum tersentuh.
”Perlu diperhatikan secara serius juga adalah sarana penunjang belajar, terutama perpustakaan sekolah, karena hampir seluruhnya di tingkat desa terpencil, perpustakaan penunjang belajar sangat minim,” ujar mantan anggota DPRD Kota Palangka Raya, tahun 1999-2004 ini.
Terkait masalah penyebaran guru, ia menilai, sesuatu masalah yang serius dalam protret pendidikan di Kalteng saat ini. Oleh karenanya, ia meminta perhatian serius dari pemerintah daerah. Pasalanya, jumlah guru di Kalteng bukan kurang, namun penyebaran atau penempatannya antara di kota dengan di desa tidak merata.
Kenapa demikian terjadi, katanya, kebanyakan saat ini, seorang guru beroreantasi pada penghasilan atau lebih dikenal dengan lapangan pekerjaan, bukan bertitik pada pengabdian atau menjadikan guru sebagai profesi guru. Akibat seorang guru tidak menaggap sebagai profesi, maka yang terjadi banyak guru memilih bertugas di kota ketimbang di desa.
Dia mencontohkan, seorang guru perempuan ketika bertugas di desa dengan bermacam dalih guru tersebut minta pindah ke kota. Misalnya, seorang guru berstatus sudah bersuami, dan kebetulan suaminya bertugas di salah satu kantor di ibukota kabupaten, dengan alasan mengikuti suami ia minta pindah kekota.
“Ini salah satu protert pendidikan di Kalteng, kenapa hingga sampai saat ini penempatan guru tidak merata, karena guru dianggap bukan profesi tetapi sebagai lapangan pekerjaan untuk menembah penghasilan. Dari pada nganggur lebih baik jadi guru,” kata Donny.
Menyinggung soal pemerataan pendidikan di Kalteng. Donny menyebutkan, pendidikan sudah menjadi milik masyarakat Kalteng, karena tidak ada pelosok desa pun yang tidak mengenal dan tidak disentuh pendidikan, namun bukan berarti pemerintah tidak memiliki pekerjaan rumah.
”Kenapa demikian, pendidikan bukan hanya terbatas sampai bagaimana masuk sekolah, tetapi bagaimana meningkatkan SDM. Terkait peningkatan SDM, kita jangan terlalu banyak berharap, karena memang mulai dari guru hingga kemurit, meningkatkan SDM merupakan salah satu pekerjaan rumah yang berat pagi pemerintah daerah,” imbuhnya. (*)

Tidak ada komentar: