17 Feb 2009

PAD Minim Dari Perkebunan Kelapa Sawit

Satriadi: Sawit Banyak Mudarat Dari Manfaat

Oleh: Alfrid Uga

PALANGKA RAYA-Bukan Walhi namanya kalau tidak getol mengkritisi lingkungan. Bila Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan kelapa sawit lebih banyak merugikan ekosistem hayati. Wahana Lingkungan Hidup Indoesia (WALHI) punya penilaian yang sama tentang sawit.
Bahkan Walhi menyebutkan kelapa sawit lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, terutama bagi masyarkat lokal. Dikatakannya, akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tak sedikit kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal musnah.
Tak hanya itu, kebun, sawah, ladang bahkan hingga pekarangan rumah masyarakat pun dugusur untuk perkebunan kelapa sawit, tanpa tanggungjawab, bahkan menjadi konflik berkepanjangan hingga memakan korban jiwa dari masyarakat.
”Di Pangkalan Bun puluhan hektar padi milik masyarakat digusur. Baru-baru ini terjadi, di Kotim kuburan dan sandung juga digusur. Inilah yang saya sebut banyak modaratnya dari pada manfaat bagi masyarkat lokal,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Satriadi, di Palangka Raya, baru-bau ini.
Yang lebih ironis lagi, ungkap Satriadi, terbukti dalam pernyataan Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, beberapa waktu lalu, kemiskinan justru tinggi di daerah yang kaya akan hasil sumber daya alamnya, seperti tambang dan perkebunan.
”Ini fakta, bahwa melimpahnya sumber daya alam, luasnya perkebunan kelapa sawit, tidak menjamin masyarakat akan lebih baik dan terbebas dari kemiskinan. Justru malah terjadi pemiskinan yang dilakukan secara struktural, oleh pemerintah dan pengusaha,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Satriadi dengan tegas menyebutkan, bagi masyarakat sawit tak ada manfaat, hal yang serupa bagi pemerintah daerah. PAD yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit cukup minim, bahkan tak sebanding dengan nilai coast perbaikan lingkungan, seperti reboisasi, penanggulangan bencana banjir yang terjadi setiap tahun akibat rusaknya hutan.
”Bayangkan bencana banjir di Kalteng hampir terjadi setiap tahun. Dana yang dikeluarkan jumlahnya tidak sedikit, hingga puluhan milliar. Begitu juga dengan dana reboisasi hingga ratusan milliar itupun tak berjalan dengan baik, sehingga dana reboisasi terbuang tanpa hasil bagi perbaikan lingkungan,” imbuhnya.
Dilihat dari segi estetika lingkungan, jelas Satriadi, pembukaan hutan secara besar-besaran tentu menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Bayangkan, katanya, dalam satu menit saja hutan musnah 10 kali lapangan bola, ini tentu merugikan ekosistem hayati.
”Ada jutaan ekosistem hayati yang terkandung didalam hutan hilang begitu saja akibat dari pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, padahal hutan bermanfaat untuk mengatur keseimbangan mahluk hidup termasuk manusia. Contohnya, melindungi dari bencana banjir, dan menjaga udara tetap bersih,” pungkas mantan Direktur Eksekutif Betang Borneo ini. (***)

Tidak ada komentar: