Lingkungan Hidup

KELAPA SAWIT PEMBAWA BENCANA
Oleh; ALFRID UGA
Sejak tahun 1980 hingga tahun 2008 perkebunan kelapa sawit hadir di Kalimantan Tengah. Dalam rentang waktu 27 tahun tersebut, kehadiran perkebunan kelapa sawit telah banyak membawa dampak buruk bagi kehidupan masyarakat lokal, dimana kehadiran perkebuan kelapa sawit secara langsung telah merusak tatanan sosial, ekonomi dan budaya masayarakat lokal setempat.
Tidak hanya itu, hak-hak masyakat lokal atas sumber daya alam dirampas, sumber-sumber kehidupan seperti kebun (Karet, Rotan dan Buah-buahan), ladang dan hutan yang menyediakan sumber pangan bagi ratusan ribu komunitas masyarakat adat yang hidup turun-temurun di sekitar kawasan hutan musnah tergususur bersamaan dengan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Bahkan tidak cukup sampai disitu, beberapa komunitas adat yang hidup bertahun-tahun lamanya terusir dari wilayah kelola adatnya sendiri, hanya demi kepentingan investor petkebunan kelapa sawit.
Dampak lain terhadap lingkungan, hutan-hutan gundul yang tersisa hanya semak belukar, terjadi erosi, banjir setiap tahun, bencana kabut asap setiap tahun, sungai/danau menjadi kering gerontang dan bahkan tercemar karena dijadikan tempat membuang limbah Crude Palm Oil (CPO).
Masyarkat petani lokal menjerit pasalnya serangan ribuan hingga jutaan ekor hama belalang dan tikus terhadap perkebunan sayur dan ladang padi rakyat hingga musnah tidak menghasilkan apa-apa. Akibatnya berdampak pada turunnya tingkat kesejahtraan masyarakat lokal.
Untuk menyambung hidup, masyarakat terpaksa bekerja sebagai buruh kasar di perkebunan-perkebunan kelapa sawit dengan upah rendah, sementra kebutuhan pokok semakin hari semakin naik yang pada akhirnya terjadi kerawanan pangan bagi ratuasan ribu komunitas adat.
Hal ini cepat atau lambat akan memicu perlawanan radikalisme dari rakyat korban sehingga terjadinya konflik sosoial berkepanjangan antara masyarakat adat dengan pengambil kebijakan (Pemerintah) dan juga dengan pihak Perkebunan Besar Swasta (PBS) kelapa sawit. Contoh kasus konflik, masyarakat Barito Utara berkonflik dengan pihak perkebunan PT. Antang Ganda Utama, masyarakat Runtu Kabupaten Kotawaringin Barat berkonflik dengan PT. Mitra Mendawai Sejati anak perusahan PT. Tanjung Lingga Group dan yang terakhir masyarakat Rungan Manuhing berkonflik dengan perusahan perkebunan PT. Kalimantan Hamparan Sawit (KHS), PT. Agro Lestari Sentosa (ALS), dan PT. Tantahan Pandohop Asi (TPA) yang berakhir penolakan ketiga perusahan perkebunan kelapa sawit tersebut oleh warga Rungan Manuhing (Kaltengpos, 25/09/07) .

Kenapa Sawit Terus Dikembangkan?
Pola pikir yang rendah, cara pandang yang sempit, analisa yang buruk dan mental yang korup dari para pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah, dalam memandang sebagai daerah otonom, terhadap sebuah keluasan wilayah Kalteng, jumlah penduduk yang masih belum berimbang, banyaknya penduduk Kalteng yang menganggur akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan dan rendahnya tingkat kesejahtraan rakyat Kalteng, selalu menjadi alasan bahwa perkebunan kelapa sawit masih sangat layak untuk dikembangkan di Kalteng.
Data Save Our Borneo (SOB) 2007 menyebutkan luas perkebunanan kelapa sawit di Kalteng dari tahun 1980 hingga tahun 2007 berjumlah 2.780.219 hektare. luas ini tentu akan meningkat lagi seiring dengan berjalannya Program Revitalisasi Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007 – 2010, yaitu berjumlah menjadi 2.822.919 hektare.
Tidak hanya cukup sampai disitu, luas perkebunan kelapa sawit akan semakin meningkat seiring dengan berjalannya rencana program pemerintah pusat membuka 1,8 juta hektar di perbatasan Kalimantan dan Malaysia, jika terealisasi dan Kalteng diasumsikan mendapatkan jatah 30 % atau 540.000 ha dari luas total, maka jumlah luas perkebunan kelapa sawit di Kalteng berjumlah 3.362.919 hektare.
Jumlah ini jauh lebih besar dari luas Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) seluas 2,789,108 hektare yang peruntukannya bukan saja hanya untuk perkebunan kelapa sawit tetapi diperuntukkan untuk komoditas lain (RTRWP No. 8 Th 2003). Akibatnya, tidak jarang banyak kawasan perkebunan kelapa sawit menggusur wilayah kelola masyarkat adat (MA) dan mengalih fungsi kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT).
Untuk melegalkan setidaknya 1.059.441 hektare perkebunan kelapa sawit yang berada di wilayah HP dan HPT, pemerintah provinsi dan kabupaten pada tahun 2007 merevisi RTRWP No. 8 Tahun 2003. Sungguh-sungguh sangat disayangkan, karena revisi RTRWP No. 8 Tahun 2003 tidak dibuat dengan seobyektif mungkin karena ada pemaksaan terhadap kepentingan-kepentingan pihak tertentu semata, kata lain bagi-bagi lahan.
Dapat dimaklumi memang, karena perkebunan kelapa sawit banyak dimiliki oleh orang-orang yang duduk di pemerintahan saat ini, contoh kasus di wilayah Kabupaten Katingan perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh anggota DPRD Propinsi Kalteng yang notabene adalah anggota yang terlibat dalam proses revisi RTRWP No. 8 Tahun 2003, di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat, Sukamara dan Lamandau sejumlah perkebunan kelapa sawit di miliki oleh anggota DPRD setempat yang berasal dari dua partai terbesar di Kalteng yaitu PDIP dan Golkar.
Di wilayah Kabupaten Seruyan, perkebunan kelapa sawit juga dimiliki oleh seorang Bupati yang sebagiannya telah di jualkan kepada Perusahan Malaysia. Hal inilah kemungkinan menjadi pertimbangan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kehutatan sampai saat ini belum menyetujui atau menyepakati tentang Tegakan Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalteng, sehingga berlarut-larutnya proses revisi RTRWP No. 8 tahun 2003 tersebut.

Kelapa Sawit, Sebuah Mitos Kesejahteraan
Luasnya perkebunan kelapa sawit, besarnya tingkat mobilisasi penduduk masuk ke wilayah Provinsi Kalteng, dianggap Pemerintah Daerah Kalteng dapat mensejatrakan rakyat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, menciptakan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur dan memperbaiki lingkungan.
Selain itu, pihak pengembang perkebunan kelapa sawit juga tidak kalah promosi yang mengatakan bahwa kelapa sawit memiliki berbagai turunan produk yang dimanfaatkan manusia, mulai dari mentega, minyak goreng, biskuit, hingga sebagai bahan industri tekstil, biodisel, farmasi, kosmetika, sabun, deterjen dan beberapa jenis turunan produk lainnya. Ampasnya pun dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, pakan ternak serta batang dan pelepahnya dapat dimanfaatkan sebagai papan partikel bahkan kertas.
Bahkan ketika mengetahui bahwa satu batang kelapa sawit dapat menyerap air 20-30 liter per hari, pun dianggap kelapa sawit dapat membantu mengatasi permasalahan banjir dan bahkan tidak kalah hebatnya kelapa sawit yang selama ini dikenal dengan tanaman yang bersifat monokultur (tidak ada jenis tumbuhan lain selain kelapa sawit yang tumbuh disatu hamparan) dan merusak daya serap karbon, namun sebaliknya kelapa sawit juga dapat menyerap karbon lebih besar dari daya serap karbon pada hutan gambut atau hutan murni lainnya.
Hal inilah menarik minat semua kalangan, tidak ketinggalan petani komoditas lokal dan bahkan petani ”rela” menyerahkan wilayah kelolanya dan masuk sebagai petani plasma kelapa sawit, namun prakteknya ketika petani masuk sebagai anggota petani plasma kelapa sawit yang hingga sampai saat ini masih berkutat dengan rendahnya harga jual tandan buah segar kelapa sawit ke pabrik pengolahan CPO dengan berbagai alasan; mulai dari harga CPO yang rendah, hingga kualitas sawit yang dihasilkan petani plasma rendah.
Masalah ini terjadi dapat dimaklumi memang, karena perusahan inti plasma atau perusahan yang mensubsidi para petani plasma sipatnya monopoli harga karena setiap anggota petani plasma tidak dibenarkan menjual hasil ke perusahan CPO lainnya dan jika petani plasma melakukan hal tersebut maka pihak perusahan akan mencabut subsidi, dan bahkan dengan harga yang murah petani plasma diharuskan menyetor kredit bank yang dipotong langsung setiap kali panen.
Proses ini terus-menerus terjadi hingga kemampuan petani plasma lemah yang pada akhirnya petani plasma tidak mampu membayar utang, maka pihak perusahan menyita dan mengambil alih manajemen pengelolaan lahan perkebunan petani plasma, sementara petani plasma tersebut dibiarkan sebagai buruh kasar di lahan perkebunannya sendiri, istilah ngaju ”Bakei Buli Bakei”.
Belum termasuk janji pembangunan infrastruktur jalan, yang kenyataannya hanya dibangun pada areal perkebunan kelapa sawit dan bahkan tidak jarang pengangkutan tandan buah kelapa sawit dari kawasan perkebunan menuju pabrik pengolahan CPO dan atau dari pabrik pengolahan CPO menuju pelabuhan menggunakan pasilitas umum (jalan Negara) yang menjadi salah satu sumber penyebab utamanya kehancuran jala-jalan Negara saat ini.
Tengok saja bagaimana kondisi jalan yang menghubungkan Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawringin Barat dan Kabuaten Lamandau yang paling banyak mengembangkan perkebunann kelapa sawit hancur lebur akibat dari aktifitas pengangkutan tandan buah segar kelapa sawit dan tangki-tangki CPO.
Sarana pendididikan tidak luput dari pengabaian janji-janji pemerintah dan pelaku usaha perkebunan besar kelapa sawit. Masih terlalu jauh mimpi untuk dapat meraih tingkat pendidikan yang lebih baik, dan bahkan tidak jarang pendidikan masyarkat lokal yang rendah menjadi salah satu alasan menolak warga lokal jadi karyawan perusahan, kalau toh diterima paling-paling dipekerjakan sebagai buruh kasar, bekerja dari pagi hingga sore dengan upah rendah dibawah stnadar kebeutuhan hidup, yakni Rp. 450 ribu-Rp.750 ribu per bulan.
Dengan upah yang sedemikian rendah, tentu tidak akan mungkin bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan anak dua yang serba beli dengan harga mahal. Tentu ini sebuah pilihan yang dipilih oleh masyarakat, pilihan yang mungkin ”terpaksa” karena keadaan yang ”diciptakan secara sengaja” oleh kaum penguasa agar masyarakat memiliki ketergantungan, karena tidak ada lagi sumber-sumber kehidupan selain menggantungkan hidup dari hasil menjadi buruh kasar di perkebunan kelapa sawit.
Begitu juga dengan kesehatan tidak luput dari pengabaian janji-janji pemerintah dan pelaku usaha perkebunan besar kelapa sawit. Masih terlalu jauh mimpi untuk dapat kesehatan yang terjaminkan dapat digapai oleh komunitas masyarakat, bahkan justru sebaliknya, dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit tingkat kesehatan masyarkat Kalteng menurun.
Data yang disampaikan oleh Direktur RSUD-Doris Sylvanus Palangkaraya dr. Don F Leiden Spog mengatakan dari bulan Agustus-September 2006 saja, warga Kalteng menderita infeksi saluran pernapsan akut (ISPA) berjumlah 1722 orang. (Yatim Suroso,5/10/2006). Hal ini diyakini disebabkan oleh pencemaran udara (Kabut Asap) yang di hasilkan dari aktifitas land clearing sejumlah perkebunan kelapa sawit yang melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar.
Kelapa sawit yang dianggap dapat menyerap air 20-30 liter per pohon per hari, kenyataannya justru sebaliknya berdampak kekeringan pada sejumlah danau dan sungai, begitu sebaliknya ketika musim hujan tiba, daya serap kelapa sawit terbatas sehingga air hujan langsung mengalir dengan cepat kesungai dan danau hingga volume air danau dan sungai meningkat, pada akhirnya membanjiri wilayah-wilayah dataran rendah.
Hal ini sudah sering terjadi di beberapa wilayah daerah alirang sungai (DAS) yang menjadi wilayah central pengembangan perkebunan kelapa sawit, contoh khaus di daerah Aliran (Das) Barito, Das Lamandau/Arut, Das Seruyan, Das Mentaya dan Das Katingan.
Di lain sisi, telah begitu banyak perusahaan perkebunan yang serta merta meninggalkan lahan yang telah dibabat habis kayunya, tanpa menanam kelapa sawit, yang ditinggalkan hanyalah hamparan lahan kosong, semak belukar yang menghasilkan erosi dan menjadi lahan kritis karena tak lagi berpepohonan, sehingga tak ada lagi hewan yang hidup di kawasan tersebut, akibatnya tidak jarang wilayah kabupaten yang menjadi sentral pengembangan perkebunan kelapa sawit menuai bencana banjir.
Fakta ini bukan tidak berdasar, Gubernur Kalteng dalam pernyataannya di sejumlah media massa lokal dan nasional, cetak maupun elektronik menyebutkan ”Gubernur Kalteng A. Teras Narang mengancam segera mencabut izin 155 perkebunan besar yang tidak serius melakukan operasional” ( BPost, 13/9/2006).
Dari 155 izin yang dikeluarkan oleh Pemda Kalteng, plotting area seluas 2,61 juta hektar yang tidak melakukan penanaman kelapa sawit, kata lain menipu. Bukan hanya itu, perkebunan kelapa sawit tidak jarang menjadi sumber bencana alam tahunan akibat terjadinya kabut asap tebal dari aktifitas land clearing lahan perkebuan, hal ini telah mencoreng wajah pemerintah Indonesia dimata Internasional.
Sementara itu sikap tegas pemerintah untuk menindak para pengusaha nakal, masih dalam tataran wacana yang tidak pernah menjadi kenyataan. Selain itu, bencana yang paling menakutkan adalah bencana tanpa musim, yaitu bencana datang dari serangan hama belalang yang menyerang tanaman -tanaman penduduk di sekitar wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit, padahal tanaman seperti; padi dan sayur mayur merupakan sumber kehidupan masyarkat lokal.
Korupsi juga bukan menjadi barang yang tidak aneh dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalteng. Pengabaian beberapa persyaratan penting yang harus dipenuhi perusahan pengembangan perkebunan kelapa sawit, misalnya; Amdal, bank garansi, hingga perijinan, masih sering ditemukan hingga saat ini.
Bahkan pengusaha perkebunan dapat membabat hutan terlebih dahulu hanya berbekal surat ijin prinsif tanpa mengantongi ijin Hak Guna Usaha (HGU), ijin pemanpatan kayu (IPK) dan lain-lainnya dari pemerintah. Selain itu tidak jarang terjadi tumpang tindih over lap izin peruntukan, misalnya izin perkebunan kelapa sawit over lap dengan izin pertambangan, hal ini terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur. Over lap antara dua pemegang izin perkebunan, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Pulang Pisau PT. Taheta Jaya dan PT. Best Agro Internasional.
Penghilangan dan penghancuran wilaya-wilayah kelola adat sebagai sumber kehidupan masyarkat lokal, juga dilakukan oleh beberapa perkebunan besar kelapa sawit di Kalteng. Contoh kasus, PT. Antang Ganda Utama (PT.AGU) di Barito Utara dan PT. Mitra Mendawai Sejati (PT.MMS) di Kotawaringin Barat.
Penggusuran wilayah-wilayah kelola adat komunitas masyarakat masih terus dilakukan, dan ketika penggusuran dilakukan, masyarakat berada dalam posisi yang dilemahkan, baik oleh negara maupun aparat penegak hukum (TNI dan Polri), bahkan sebagian dikriminalkan. Contoh kasus, masyarakat Kecamatan Kandui Kabupaten Barito Utara ditangkap oleh aparat Kepolisian, berdasarkan laporan pihak PT. AGU bahwa masyarkat telah mencaplok wilayah perkebunan PT. AGU, hal tersebut lucu dan mengada-ngada karena jauh sebelum PT. AGU ada masyarakat sudah ada beratus-ratus hingga ribuan tahun hidup di wilayah tersebut.
Masyarakat Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, ditangkap oleh pihak Kepolisian dan harus menjalani pemeriksaan atas tuduhan pemerasan dan perampasan 2 buah Bulldozer PT. MMS sebagaimana laporan dari pihka PT. MMS kepada Kepolisian. Padahal apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut semata-mata mempertahankan wilayah mereka dimana wilayah tersebut merupakan kawasan perkebunan rakyat (Karet dan buah-buahan) yang telah memiliki legalitas berupa surat segel tanah/surat adat dari tahun 1950 dan telah membayar pajak setiap tahunnya.
Sedemikian banyaknya permasalahan yang mengikuti pembangunan perkebunan besar kelapa sawit, sudah selayaknya menjadi sebuah cerminan akan tidak seriusnya pemerintah menjalankan pelayanan bagi masyarakat. Pembelaan terhadap kepentingan sekelompok orang (dalam hal ini pemilik modal) masih sangat tinggi di pemerintah.
Sementara masyarakat selalu dibiarkan tertindas, terbunuh, teraniaya, termarjinalkan, tergusur dan terusir dari wilayah-wilayah kelola adat yang menjadi sumber-sumber kehidupan. Padahal kenyataannya, hinggga saat ini perkebunan rakyat jadi tulang punggung penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja.
Namun pemerintah Kalteng masih belum mau melindungi perkebunan yang dimiliki rakyat, termasuk terhadap pemasaran produk dari masyarakat lokal, yakni Karet, Rotan, dan Buah-Buahan.(***)