Laporan: Alfrid Uga
PALANGKA RAYA-Opsi “Akta Perdaiaman” yang dianut dari hukum Negara Belanda, sebagaimana yang direkomendasi Komisi IV DPR RI kepada pemerintah pusat dan daerah, terkait penyelesaian masalah hukum yang bakal melibatkan investor perusahan besar swasta (PBS) kelapa sawit dan pertambangan, serta kepala daerah di wilayah ini, jika RTRWP Kalteng disahkan, mulai mendapat respon keras dari sejumlah kalangan.
Jika sebelumnya, opsi Akta Perdamaian ditentang oleh kalangan akademisi, seperti Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya, Ir. Bismart Fery Ibie, kini giliran aktivis lingkungan di wilayah ini. Koordinator Save Our Borneo, Nordin menegaskan, berlarut-larutnya pembahasan RTRWP Kalteng merupakan upaya dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemutihan terhadap dosa-dosa investor dan pejabat daerah ini.
Terkait opsi yang ditawarkan Komisi IV DPR RI, agar pemerintah pusat dan daerah mepelajari dengan melakukan studi banding ke Negera Belanda untuk mempelajari dokumen hukum “Akta Perdamaian” yang berlaku di negara itu, untuk menyelesaikan kasus masalah hukum terkait pelanggaran yang dilakukan sejumlah PBS kelapa sawit dan pertambangan, serta kepala daerah di wilayah ini, ditentang keras mantan Direktur Walhi Kalteng ini.
Menurut Nordin, hukum boleh berdamai dengan para pelanggar hukum asalkan, para pelanggar hukum tersebut dinyatakan dan ditetapkan sebagai orang yang bersalah dan melanggar hukum. “Boleh saja berdamai tetapi para pelaku kejahatan itu harus ditetapkan sebagai orang yang bersalah, baru kemudian mendapat pengampunan, misalnya Deponering, garasi, Amnesti dan Abolisi,” ungkapnya di Palangka Raya, Minggu (17/10).
Menyinggung luasan PBS kelapa sawit di Kalteng, menurut Nordin hingga saat ini ada sekitar 4.65 juta hektar kawasan Kalteng sudah diberikan izin, dimana 95 persen diantaranya telah berubah menjadi kawasan PBS kelapa sawit dan dimiliki oleh segelintir konglomerat, baik lokal, nasional mapun internasional, seperti investor Malaysia.
“Dari 4.65 juta tersebut 2.574 juta ha sudah operasional dan bahkan panen buah. Sisanya seluas 2.574 juta ha belum operasional namun sudah dinyatakan sebagai milik 205 pengusaha kelapa sawit. Jika melihat luas izin PBS kelapa sawit di Kalteng saat ini, tidak mencerminkan keadilan distribusi asset alam dan keadilan distribusi alat produksi berupa tanah untuk warga negara,” tegasnya.
Dikemukakan Nordin, jika melihat dari beberapa opsi yang ditawarkan Komisi IV DPR RI kepada pemerintah pusat dan daerah, salah satunya menawarkan “Akta Perdamaian” jelas sebagai upaya untuk menyelamatkan investor dan kepala daerah dari masalah hukum. Hal tersebut terlihat dari banyaknya perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan tanpa izin alih fungsi dari Menteri Kehutanan.
“Keseluruhan kawasan yang diberikan untuk perkenunan tersebut, bila berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan [TGHK] sebanyak 3.926 juta hektar yang merupakan kawasan hutan. Bila berdasarkan RTRWP 2003, seluas 1.710 juta hektar berada dalam akwasan hutan, baik hutan lindung [HL], Hutan Produksi [HP], Hutan Produksi Terbatas [HPT ataupun Hutan Produksi yang dapat di Konversi],” beber Nordin.
Berdasarkan TGHK, kawasan hutan yang sudah dirambah, imbuh Nordin, untuk perkebunan kelapa sawit [aktif] mencapai 1.664 juta ha, sementara jika berdasar RTRWP 2003 seluas kurang lebih 365 ribu ha. “Ironisnya, pelepasan kawasan hutan yang diberikan oleh Kementrian Kehutanan sampai dengan tahun 2010 ini, dimana pemberian pelepasan ini mengacu pada TGHK hanya mencapai 553 ribu ha, artinya sekitar 1.1 juta ha berkerja tanpa izin pelepasan kawasan hutan,” imbuhnya.
Terkait banyaknya izin PBs kelapa sawit yang berada dalam kawasan hutan tanpa memperoleh izin alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan dari menteri kehutanan. Nordin sangat meyayangkan sikap pemerintah yang menutup mata pada aktivitas penjarahan terstruktur atas kawasan-kawasan hutan di Kalteng ini.
“Dapat dikatakan pemerintah melakukan pembiaran atas terjadinya tindak kejahatan kehutanan. SOB meminta agar kejatahatan-kejatahan kehutanan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit segera diambil langkah hukum tanpa kompromi, jika tidak maka sama saja pemerintah dan aparat hhkum adalah bagian dari pelanggar hukum. Aparat penegak hukum jangan hanya bisa menagakkan hukum kepada masyarakat kecil saja, tetapi kepada yang lebih besar justru dibiarkan,” pungkas Nordin.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bismart Fery menghawatirkan, jika akta perdamaain antara pemerintah dan pengusaha nakal berhasil diterapkan di Indonesia akan berdampak buruk terhadap penegakan hukum di bidang kehutanan dimasa akan datang. Pasalnya, dengan adanya akta perdamaian tersebut, tidak membuat efek jera para investor nakal.
“Yang terpenting dipelajari dari akta perdamain itu, adalah positiv dan negativnya. Jangan-jangan nanti dengan adanya akta perdamaian antara pemerintah dengan investor nakal, bisa menambah investor itu gila melanggar hukum. Kerna mereka berpikir, ah ngga apa-apa melanggar, toh juga ada akta perdamaian. Inilah yang pelu dipikirkan lagi,” pungkasnya. (Radar Sampit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar