14 Sep 2009

SOB Sebut Pemerintah Ikut Berkontribusi dengan Bencana Asap

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA–
Sedikitnya 66 titik panas (hot spot) yang dididuga berada di lokasi perkebunan kelapa sawit di wilayah kotawaringin. Bahkan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalteng menduga kuat hot spot tersebut bukan lagi titik panas, melainkan titik api.
Terkait dengan hal tersebut Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang telah meminta kepala daerah untuk melakukan croscek lapangan. Namun hingga saat ini belum satupun kepala daerah yang melaporkan hasil croscek lapangan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin, menyebutkan ada sesuatu hal, antara kepala daerah dengan pemilik perkebunan. Meski BLH telah merilis dan menduga kuat bukan lagi titik panas, melain titik api yang berada di 66 di lahan perkebunan sawit, pasti selalu dikatakan tidak ada.
”Inikan sangat aneh. BLH jelas-jelas merilis ada 66 titik api dikawasan perkebunan. Tetapi dari kepala daerah justru mengatakan daerahnya bebas kebakaran,” ujar Nordin kepada Radar Sampit di Palangka Raya kemarin.
Dikemukakan Nordin, hal tersebut terjadi karena pemerintah setempat tidak lagi bisa mengontrol ambisinya untuk meredam pertumbuhan investasi sawit. Pemerintah tidak pernah menghitung dengan cermat berapa sebenarnya kemampuan ekologi Kalteng yang sanggup menampung luasan sawit.
“Buktinya meski lahan sudah tidak tersedia, pemerintah terus memberikan izin kepada perkebunan sawit, tanpa menghitung dampaknya kedepan. Apa yang terjadi saat ini, itu dampak dari ketidak cermatan pemerintah itu sendiri,” ungkapnya.
Nordin menandaskan, perusahaan perkebunan menggunakan cara-cara yang rapi untuk melakukan pembersihan lahan (leand clearing) dalam rangka menghindari tudingan pembakaran lahan. Misalnya, perusahaan melibatkan sub kontraktor supaya persoalan leand clearing bukan lagi menjadi tanggungjawab perusahaan, sekali pun proses pembersihannya dengan cara dibakar.
”Secara tidak langsung sebenarnya kondisi sekarang ini juga menyeret pemerintah ikut berkontribusi terhadap bencana asap yang disebabkan hasil pembakaran lahan dari perusahaan perkebunan sawit itu,” tandas Nordin.
Melihat dari aspek ekonomi, Noordin berpandangan, pemerintah tidak menghitung break even poin (BOP) atau titik jenuh luasan dan produksi sawit dari tahun ketahun, sehingga perkebunan besar swasta (PBS) di Kalteng terus dan terus bertambah luas.
“Kalau pemerintah menyadari, sebenarnya cara ini justru membuat cost negara bertambah bengkak. Misalnya, infrastruktur harus dibangun kembali dan lain sebagainya,” jelas Noordin.
Lebih lanjut ditambahkan, kemampuan antisipasi dini bencana asap yang dilakukan pemerintah sangat memperihatinkan. Dimana, tindakan yang dilakukan pemerintah hanya bersifat reaksioner saja, bukan visioner. Padahal, bencana asap kata dia, bisa dibilang musibah tahunan yang datang hampir setiap setahun sekali. Anehnya, tidak pernah diantisipasi. Asap muncul, baru pemerintah kalang kabut.
“UU penanggulangan bencana sejauh ini belum diimplementasikan pemerintah daerah, termasuk belum adanya badan daerah penanggulangan bencana sesuai amanat UU itu sendiri,” imbuhnya. (*)

Tidak ada komentar: