8 Sep 2009

Jadi Ladies Karaoke Karena Ditinggal Ayah Mati

Pengakuan Seorang Ladies Karaoke yang Sukses (1)

Oleh: Alfrid U

NAMAKU
Iramatalia Rahman, tentu bukan nama sebenarnya. Lahir 25 tahun lalu di Kota Sampit, Kotawaringin Timur. Karena aku bekerja menjadi pelayan di Karaoke, sebagai pramusaji plus-plus. Para lelaki hidung belang panggil namaku Ladies Ira.
Mulanya aku risih, tetapi lama-lama aku terbiasa. Karena aku sudah menyadari itulah konsekuensi yang aku tanggung sebagai seorang Ladies Karaoke, yang akrap dengan duia gemerlapnya malam, dan hingar bingar sura musik memecah gelapnya malam.
Aku memang Ladies Karaoke. Bagi kebanyakan orang, profesi Ladies Karaoke adalah pekerjaan yang hina. Aku pun menyadarinya, tapi pekerjaan hina ini terpaksa aku lakoni demi menyambung hidup, dengan satu tujuan untuk menggapai kesuksesan. Terjun kedunia Ladies Karaoke tampa sengaja aku jalani, awalnya hanya coba-coba, lantaran aku merasa hidupku tak berguna lagi.
Dua sosok pria yang aku anggap sebagai ayah, yang mampu membimbing hidupku, setah ditinggal mati ayah, ternyata saat aku tumbuh dewasa, kedua sosok pria yang aku anggap ayah itu, lebih kejam dari sekor Singa jantan. Tubuhku diterkam dan dikoyak-koyak hanya untuk memuas nafsu birahi mereka.
Meski aku seorang Ladies Karaoke, tak banyak orang yang tau, termasuk tetangga satu RT di Komplek Padat Karya, rumah tempat aku tinggal bersama keluarga. Tapi kini aku ingin berbagi cerita pengalaman hidup yang tak sempurna ini, walaupun sebenanya tak patut aku ungkapkan.
Curhatan hati, dari pengalaman hidup yang tak sempurna ini, paling tidak bisa mewakili orang yang seprofesi aku. Bahwa tak semua karena keinginannya jadi seorang hina, tetapi karena keadaan lah yang menjerumuskannya. Mudah-mudahan tak ada yang sama pengalaman hidupnya dengan apa yang aku alami.
Awal kehancuran. Ayahku meninggal terbilang muda, baru berusia 35 tahun. Sedangkan ibuku baru berusia 28 tahun, ketika itu usiaku masih 12 tahun, masih duduk di kelas enam SD disalah satu sekolah negeri di Sampit Kotawaringin Timur. Enam bulan kemudian aku masuk di salah satu SMP di Jalan A Yani.
Setahun ditinggal ayah mati, tabungan yang ditinggal semakin menipis. Ibu yang tidak punya pekerjaan, untuk menyangbung hidup dan biaya aku sekolah, ibuku bekerja sebagai pelayan toko swalayan, dengan upah Rp. 450 ribu, ditambah dengan uang makan Rp 5 ribu per hari.
Ketika aku dan ibu duduk-duduk santai di teras depan rumah, berukuran type 36, terdiri dari dua kamar tidur berukuran kecil dan ruang tamu. Saat itu sore hari menjelang magrip. Kami kedatangan tamu dari jauh, rupanya tamu tersebut om Herman, baru datang dari Jakarta melalu bandara Tijilik Riwut Palangka Raya pada siang harinya dan langsung meluncur ke Sampit, tujuannya Seruyan Kabupaten Seruyan.
Om Herman numpang tidur dirumah kami, sebelum melanjutkan perjalanan ke Seruyan. Di Seruyan om Herman ada perusahan Sawmill-Nya. Malam harinya kami diajak om Herman makan di luar, dengan menumpang mobil yang dicarter om Herman dari Palangka Raya.
Dari rumah, om Herman mengajak kami langsung menuju rumah makan padang di Jalan A Yani. Sambil duduk menunggu makanan dihidangkan, ibu banyak bercerita tentang kesulitan hidup setelah ditinggal mati ayah. Sebenarnya om Herman bukan orang asing dikeluarga kami. Waktu ayah masih hidup, ayah orang kepercayaan om Herman, dan diberi kepercayaan mengelola Bandsaw di Kasongan.
Setelah makan, kami diajak om Herman ke toko pkaian yang tak jauh dari pelabuhan Sampit. Ibu ngambil dua stel baju, aku tiga ditambah dengan satu stel rok mini, warna ping. Total belanja yang dibayarkan om Herman, kurang dari satu juta.
Dari situ kami pergi ke toko elektronik, jaraknya tak jauh dari tempat kami belanja pakaian. Om Herman membeli TV 21 Inci di tambah dengan satu Video CD (VCD). Ibuku lantas bertanya untuk siapa? ”Ya untuk kalian lah,” jawab om Herman. Begitu besar perhatian om Herman. Dulu kami memang punya TV, tapi dijual untuk menutupi kebutuhan hidup.
Setelah membeli TV, waktu menunjukan pukul 19.30 WIB, kami pun pulang kerumah. Sopir haya mengantar kami sampai di depan gang masuk rumah. Setelah mengantar, sopir langsung pergi. Katanya mencari penginapan tempat tidur, karena besok harus melanjutkan perjalanan ke Seruyan mengantar om Herman.
Padahal dari gang depan menuju kerumah kami, yang berada di bagian belakang antara rumah mewah, sekitar 25 meter. Karena tingginya tembok pagar rumah tetangga depan, jalan jadi sempit, sampai-sampai tak bisa dilewati mobil, kecuali motor roda dua, itupun harus hati-hati, jika tidak stang kiri kanan menyentuh dinding tembok pagar.
Sesampainya dirumah, om Herman kemudian membuka isi kotak, kemudian menghubungkannya antara TV dengan VCD. TV dan VCD tersebut kami taruh dibagian depan, persis di pojok kiri ruang tamu. Di dalam ruangan tamu hanya ada dua sopa, satu sopa ukuran satu orang dan satunya lagi sopa ukuran dua orang.
Aku duduk di sopa ukuran satu orang, ibu dan om Herman duduk di sopa ukuran dua orang. Sambil menyetel VCD. Ibu kembali melanjutkan ceritanya tentang keluarga kami selama ditinggal mati ayah. ”Eh Pak Herman,” demikian ibu panggil om Herman. ”Kalu mau tidur silahkan masuk kekamar Rahma, biar Rahma tidurnya ikut aku aja,” saran ibu.
Satujam sudah kami menonton. Judul film yang kami tonton “Eiffel…I'm in Love” yang dibawa om Herman dari Jakarta. Film tersebut berkisahkan tentang cinta remaja, yang digarap apik oleh sutradara Nasri Cheppy, ditulis oleh Rachmania Arunita. Sedangkan pemain, diantaranya Samuel Rizal, Shandy Aulia, Yogi Finanda, Titi Kamal, dan Shakira.
Film tersebut berdurasi kurang lebih 2 jam. Setengah jam aku nonton, mataku semakin berat. Tak tahan menahan rasa ngantuk, aku kemudian pamit dengan ibu dan om Herman. ”Om, bu, saya duluan masuk kamar, sudah ngantuk. Besok kan aku harus bangun pagi berangkat sekolah,” ucapku. ”Oh iya, silahkan. Selamat bobo ya,” jawab om Herman, lantas mengucapkan selamat tidur padaku.
Besok paginya aku bangun. Aku sudah ngga tau lagi, sampai jam berapa om Herman dan ibu nonton diruang tamu. Tau-taunya pas aku bangun sudah melihat ibu tertidur lelap disamping aku. Bahkan sampai aku berangkat kesekolah ibu belum bangun, demikian dengan om Herman di kamar sebelah.
Tapi sekilas aku melihat didada ibu, dari balik baju tidur, aku melihat banyak warna merah. Dikamar sebelah, tempat om Herman tidur, saat aku masuk mengambil tas sekolah dan menyisir rambut. Om Herman tidur telanjang dada, dibalik bulu-bulu tebal aku melihat yang sama, bulat-bulat merah. Tapi aku tak ingin jauh mengetahuinya, kenapa didada ibu dan om Herman merah.
Siang itu aku pulang, saat aku cek barang-barang bawaan om Herman sudah tidak ada di rumah. Seperti biasa, ibu pergi kerja, dan pulang sore hari. Tapi aku heran kenapa tempat tidur tampak brantakan, padahal ibu biasanya selalu rapi, bila bangun tidur tempat tidur selalu dirapikan.
Sore itu aku berada di depan gang, melihat ibu pulang diantar istri dan suami pemilik toko. Baru kali itu aku mengenal pemilik toko, selama setahun ibu bekerja, ibu tak memperbolehkan aku bertemu dia di toko, apalagi menyebut diri anak, atau meminggil ibu saat bekerja ditoko. Walapun aku mondar mandir kepasar, setelah pulang sekolah, toko tempat ibuku bekerja selalu aku lewati. (Ceritra selanjutnya. Ibu dan Paman ojek)

Tidak ada komentar: