Pengakuan Seorang Ladies Karaoke yang Sukses (2)
Oleh: Alfrid U
TEMAN-teman sekolah panggil namaku Rahma. Orang bilang ibuku cantik, wajahnya mirip artis Sopia Latujuba, mantan istri musisi Indra Lesmana. Bekerja jadi pelayan toko, teman-teman seprofesi ibu tak ada yang tau, apalagi bos pemilik toko, kalau ibuku sudah menikah dan punya anak.
Selama ibu bekerja, berangkat ke toko, ibu selalu dijemput tukang ojek, pulangnya diantar pemilik toko. Terkadang istrinya yang mengantar, bisa juga suaminya, yang paling sering diantar suami istri pemilik toko.
Ibu berlangganan dengan tukang ojek, Rp 100 ribu per bulan. Sedangkan aku selalu dijemput teman, namanya Heny, teman satu ruangan klas. Heny sendiri di antar jemput sama om Frengky, ayah Heny, menggunakan mobil Escudo. Ayah Heny seorang kontraktor bersatus duda, ditinggal mati istrinya dua tahun lalu.
Setiap hari pergi kesekolah aku dijemput Heny, pulang diantar. Demikian ibu, pagi dijemput tukang ojek, sore diantar pemilik toko. Kondisi seperti ini rutin setiap hari. Suatu saat aku dari sekolah langsung kerumah Heny. Dari rumah Heny di Jalan HM. Arsad, arah Samuda, aku telepon ibu di toko. Aku kasih tau ibu, aku ada di rumah Heny teman satu klas.
”Ibu, aku dirumah Heny, mungkin pulangnya malam karena menemani Heny. Papahnya belum pulang dari Kasongan. Nanti, kalau papahnya sudah datang, baru diantar pulang,” kataku dengan ibu. Ibu lantas menjawab. ”Ya, hati-hati ya nak,” ucap ibu.
Sekitar pukul 20.00 WIB, tit..titttttt.....suara klakson mobil diluar pagar rumah. Rupanya papah Heny baru datang dari Kasongan Kabupaten Katingan. Kami berdua Heny langsung keluar. ”Heny kamu tinggal dirumah aja ya,” kata papahnya. ”Iya papah,” sahut Heny.
Untuk pertama kalinya aku diantar pulang papah Heny, tanpa didampingi temanku Heny. Karena kursi bagian depan kosong, aku diminta papahnya Heny duduk didepan. Sampai didepan gang rumah, begitu mobil berhenti, aku langsung membuka pintu mobil.
Saat kaki kiriku diturunkan ke tanah, sementara kaki kanan masih terlipat menempel di jok mobil. Tiba-tiba papah Heny bilang, dengan sura bisik-bisik. ”Rahma, kamu cantik,” sambil memegang tangan kananku. Sedangkan tangan kiriku masih memegang pintu mobil.
”Kamu mirip wajah ibumu,” timpal papah Heny. ”Ah masa, aku cantik. Om ngada-ngada aja,” jawabku. Saat tanganku di pegang, aku mersakan ada getaran, ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Bahkan saat aku mengatakan, ”Ah masa aku cantik om”. Aku merasakan nada bicaraku bergetar, air liurku mengental, seakan bibirku ditempel permen karet.
”Terimakasih om,” ucapku menyambut pujian papahah Heny. Kemudian aku langsung turun dan menutup pintu mobil. Om Frangky lalu kemudian menghidupkan mesin mobilnya, langsung pergi menembus gelapnya malam itu.
Saat aku pulang aku melihat, terparkir motor bebek Yamaha F1, warna merah yang biasa digunakan menjemput ibu ke toko. Pintu rumah masih terbuka, diam-diam aku menyelinap masuk. Aku melihat ibu dan tukang ojek sedang duduk nonton TV. Ibu kemudian menyapa aku. ”Siapa yang mengantar Rahma,” tanya ibuku. ”Heny sama papahnya,” jawabku langsung masuk kamar.
Lalu kemudian mengambil handuk dan masuk ke WC mandi. Saat aku membuka celana dalamku aku merasakan ada yang lain (maaf disensor...?) di ”anuku”. Celana dalam yang aku pakai terasa (sensor lagi..?). Akupun bertanya dalam hati. Apa yang terjadi dengan diriku?
Saat aku menyiram tubuh mungilku dengan air dan lalu menggosoknya dengan sabun mandi, di buah dadaku terasa mengencang, (sensor lagi...?) terasa mengeras. Saat aku membersihkan ”anuku” dan kemudian menggosoknya dengan tanganku, aku merasakan nikmat yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Setelah selesai mandi aku lalu keluar WC, dengan bersarungkan handuk setengah badan, langsung menuju kamar dan memasang pakaian tidur, lalu kemudian aku merabahkan tubuhku di atas kasur sambil memikirkan apa maksud papah Heny. Kenapa aku merasakan sesuatu yang beda saat tanganku disentuh papah Heny, dan kenapa pula di ”anuku” terasa aneh.
Sementara ibu dan tukang ojek masih ngoblor diruang tamu depan. Kira-kira setengah jam kemudian, akhirnya aku tertidur. Ketika aku bangun, ibu masih tertidur lelap, baru kali ini aku mendengarkan suara dengkuran ibu. Akupun langsung mandi dan mengganti pakaian tidur dengan pakian sekolah.
Tak lama kemudian, ibu bangun dari tidurnya. Tak aku sia-siakan kesempatan dengan ibu, akupun bertanya kepadanya. ”Bu paman ojeknya jam berapa pulang?”. ”Tauuuuu....., ibu ngga liat jam tadi malam. Mungkin jam sepuluh, kaliiii..,” jawab ibu.
”Paman ojeknya tadi malam itu nagih, aku bilang belum gajian. Pas aku mutar film yang dibawa om Herman, paman ikut nonton sampai habis film,” cerita ibu. ”Ibu sendiri jam berapa tidurnya,” tanya ku kepada ibu. ”Waduh jam berapa ya. Tadi malam setelah paman pulang aku mutar satu lagi film, kira-kira jam dua belas kali ya,” jawab ibu.
Dalam hati menyimpan tanda tanya, tapi aku tak kuasa betanya lebih dalam lagi. Ada apa dengan ibu dan paman Ojek? Akupun lantas mengemas barang-barang sekolah lalu memasukan ke tas sekolah, kemudian pergi meninggalkan ibu yang sedang membersihkan tempat tidurnya.
Seperti biasa aku dijemput Heny. Tak lama aku menunggu didepan gang, datanglah papah Heny. Didalam mobil sudah menunggu Heny. Kami pun langsung meluncur kesekolah. Hari itu hari Jumat, pulang agak cepat dari biasanya. Meski begitu, bukannya aku pulang kerumah, tetapi malah kerumah Heny.
Lagi-lagi, om Frangky minta aku menemani Heny di rumah. Katanya ia mau ke Perenggean, disana ada proyek pembangunan gedung sekolah SMP. Pukul 20.30 Wib, papah Heny datang dari Perenggean. Aku dan Heny diajak keluar mencari makan, setelah makan, aku dintar pulang.
Waktu menunjukan pukul 21.30 Wib, aku baru tiba di rumah. Didepan rumah, kembali terparkir Yamaha F1. Seperti biasa pintu rumah tidak terkunci, akupun langsung masuk, tapi aku tak melihat seorangpun di kamar tamu depan. TV masih hidup, film yang diputar sedikit ”panas”.
Saat aku mulai melangkah menuju kamar tidur, tak aku sadari saat membuka gorden kamar, aku melihat sosok pria tak mengenakan pakaian diatas tempat tidur. Sementara ibu duduk disamping, tubuhnya tak dibaluti sehelai kainpun. ”Maaf, kalau aku terlalu terbuka rcerita tentang pribadi keluarga,” ucap Heny seraya memotong ceritanya.
Rupanya dia paman ojek, langganan ibu yang tiap pagi mengantar ibu ke toko. Akupun spontan teriak, marah kepada ibu, kenapa ibu melakukan pekerjaan serendah itu. ”Ibuuu......Kenapa kau lakukan semua ini,” teriak-ku kepada ibu.
Paman ojek langsung bergegas bangun, dalam keadaan telanjang bulat, lalu ia mengambil pakaiannya dipojok kasur, kemudian dikenakannya, lalu pergi tanpa mengucap sepatah katapun. Tapi anehnya, sebelum pergi ia sempat memeluk erat tubuh ibu, dan mendaratkan ciuman kecil di kening ibu.
Aku tak kuasa menahan amarah pada ibu. Tapi ketika ibu berkata kepadaku. ”Nak ini semua ibu lakukan demi bayar utang langganan ojek ibu, yang numpuk selama tiga bulan ini. Darimana uang ibu bayar utang langganan ojek, uang untuk makan saja pas-pasan,” ucap ibu kepadaku.
Lantas aku terduduk diam, dan merenung. Ternyata ibu benar, saat ayah masih hidup, kami hidup berkecukupan, mulai dari kebutuhan makan, kebutuhan sekolah, kendaraan, semua terpenuhi. Tapi sayang, itu semua perlahan-lahan hilang, setelah ayah pergi untuk selama-lamanya, cerita Heny. (Cerita selanjutnya. Ibu dan Pemilik Toko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar