15 Nov 2008

Perkebunan Diambang Kebangkrutan

Iwan : Wajar Perusahaan Merumahkan Pekerja
Laporan; Heru (Radar Sampit)

SAMPIT–Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kabupaten Kotawaringin Timur Iwan Setia Putra mengungkapkan, kondisi perkebunan sawit sedang sekarat. Karena itu, wajar jika sebagian besar perusahaan perkebunan merumahkan pekerja harian lepas.

Dikatakannya, carut marut ekonomi global membuat perkebunan besar swasta (PBS) tidak bisa berekspansi. Bahkan, investasi baru di bidang perkebunan juga macet.

“Jangankan meraup untung, bisa bertahan saja sudah bagus. Jadi, saat ini perusahaan perkebunan diambang kebangkrutan. Dengan harga CPO yang hanya Rp 3500 tidak dapat menutup biaya produksi,” ucapnya saat dihubungi Radar Sampi, Sabtu (8/11) kemarin.

Jebloknya sektor perkebunan, lanjut Iwan, sangat berdampak luas. Kontraktor perkebunan hanya bisa duduk manis karena proyek macet. Jasa pengangkutan sawit juga mengistirahatkan ratusan truk. Tidak hanya itu, para pekerja sawit juga pasrah saat mereka dirumahkan.

“Jika perusahaan bangkrut, otomatis pekerja juga berhenti. Apa yang mau dikerjakan jika perusahaan bangkrut,” ucap Ketua GPPI Kotim.

Menanggapi pernyataan Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Kotim Ir Jakatan, yang yakin perkebunan sawit tidak akan ambruk begitu saja, Iwan tidak sependapat. Menurutnya, sekuat dan sebesar apapun modal perusahaan perkebunan, jika biaya produksi lebih mahal dari pada pendapatan, tetap saja akan bangkrut. “Jika kondisinya seperti ini, berarti tinggal menunggu waktu saja,” cetusnya.

Ia menjelaskan, bagi perusahaan perkebunan yang baru berusia lima tahun ke bawah kondisinya sangat kritis. Keuntungan perusahaan belum didapat, kini malah dihantam badai krisis. Padahal, sebuah perusahaan baru bisa menikmati keuntungan setelah 10 hingga 15 tahun.

“Meski harga tinggi beberapa bulan yang lalu, banyak perkebunan yang belum meraup keuntungan. Jika di Sumatra, perusahaan bisa untung dalam waktu 10 tahun. Tapi kalau di Kalimantan, perusahaan bisa untung setelah 15 tahun karena biaya investasi dan operasional di Kalimantan jauh lebih tinggi dari pada di Sumatera,” ucapnya.

Namun, ia tetap mengimbau kepada perusahaan besar agar tidak memutus hubungan kerja (PHK). Salah satu jalan untuk bertahan adalah mengurangi jam kerja buruh yang otomatis juga mengurangi upah kerja. Dengan begitu, saat kondisi sudah membaik, perusahaan tidak perlu repot-repot mencari pekerja baru. “Tapi saya tidak tahu kapan suasana akan membaik,” ujar pengusaha perkebunan sawit ini.

Disinggung mengenai rencana penurunan harga premium sebesar Rp 500 per liter pada 1 Desember 2008 mendatang, ia berpendapat, tidak ada pengaruhnya bagi perkebunan. Menurutnya, penurunan harga premium hanya menguntungkan bagi perusahaan yang menggunakan premium saja.

“Perkebunan sawit tidak menggunakan premium. Semua kendaraan maupun alat berat menggunakan solar. Jadi, penurunan harga premium sama sekali tidak membantu perusahaan perkebunan,” pungkasnya. (***)

Tidak ada komentar: