Dari Dalam Kawasan TNS
Oleh: Alfrid Uga
PALANGKA RAYA – Sebanyak 107.211 dari 578.360 batang kayu log ilegal di kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) hingga kini belum mampu dimusnahkan. Kayu-kayu tersebut hasil operasi gabungan terhadap pembalakan liar di kawasan TNS pada Juli 2006 lalu.
Menurut Kepala Balai TNS, Drasospolino, meski pihaknya sudah berusaha keras melakukan pemusnahan terhadap kayu ilegal tersut, namun pihaknya tetap tidak mampu melakukan pemusnahan secara total dalam waktu yang singkat.
“Selain jumlahnya banyak, personil yang dimiliki balai TNS juga sangat terbatas. Jadi, harus bertahap, walpun sudah selama dua tahun ini, kayunya pun masih ter dari sisa 107.211 dari 578.360 batang kayu log ilegal yang berhasil diamankan petugas keluar dari kawasan,” ujarnya, kemarin.
Mantan Manager Project Konservasi Sebangau, WWF Indonesia Kalimantan Tengah ini, mengungkapkan selain jumlah kayu yang banyak dan terbatas personil juga minimnya biaya pemusnahan secara masal, walupun sebelumnya sudah dilakukan pemusnahan secara masal dengan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, yakni hingga ratusan juta rupiah. Oleh karenanya kayu sisa pemusnahan secara masala tersebut dilakukan pemusnahan secara bertahap.
“10 hari sekali, dilakukan patroli rutin secara bergantian oleh petugas konservasi. Dari patroli itu, sekaligus dimusnahan bagi kayu-kayu yang larut di sungai. Kami menargetkan, pada 10 hari patroli, petugas dapat memusnahkan 1.500 batang kayu. Harapannya, di tahun 2009 mendatang tidak lagi ada kayu tersisa yang bisa dimanfaatkan,” ungkapnya.
Drasospolino yang dipanggil akrap Ino, mengutarakan dari 578.360 batang kayu log ilegal tersebut, petugas juga berhasil mengamankan 600 ribu batang kayu log ilegal di luar kawasan TNS, yakni di Sungai Muara Bulan, Kabupaten Katingan pada tahun yang sama. “Karena lokasi temuan berada diluar areal TNS, 600 ribu kayu log sudah dilelang,” ucapnya.
Ditanya apa upaya pemulihan kawasan, Ino mengemukakan, dari 568.700 hektar (ha) kawasan TNS, 66 ribu atau 12% nya telah kritis dan perlu penanganan intesif. Alasannya, selain wilayah itu merupakan habitat orang utan liar terbesar di Pulau Kalimantan, Hutan Sebangau juga banyak dianggap sebagai emisi karbon dunia.
“Prioritas kami dalam mengelola TNS, menjadikan hutan tetap lestari yang dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, tidak hanya di Indonesia tapi, juga masyarakat dunia. Jadi, hutan jangan hanya dipandang dari sisi ekonominya saja, tapi juga harus dilihat dari sisi lain yakni, menyetabilkan iklim dunia,” imbuhnya.
Bagi dia, berbicara manfaat ekonomi dari hutan, adalah hal yang instan. Sebab, nilai kayu dari hutan hanya 10% saja dirinya menilai, hasil hutan berupa kayu hanya dapat dirasakan segelintir orang saja dan tidak bisa dirasakan orang banyak.
Ino berani membuktikan apa yang telah diucapkanya tersebut, selain untuk menjaga iklim agar tetep stabil, hutan juga memiliki nilai ekonomi lain yakni, dengan ditemukannya 66 jenis tumbuhan obat-obatan di TNS oleh LIPI. Tak hanya itu, sumber biota yang berada di dalam kawasan TNS jua banyak dimanfaatkan masyarakat setempat misalnya, getah jelutung, rotan, gemor, ikan sungai dan lain-lain.
“Lewat ekowisata, Hutan Sebangau juga telah menjadikan ekonomi masyarakat berkelanjutan, dimana wisatawan yang mau menanam bisa membeli tanaman hutan yang bibitnya disemai dari masyarakat setempat. Selain itu, untuk menuju lokasi penanaman, wisatawan pun bisa menyewa jukung (perahu) dari masyarakat, begitu juga terhadap penginapan. Jadi, kepentingan masyarakat lokal untuk membangun ekonominya benar-benar bisa dirasakan,” ungkapnya.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar