27 Des 2008

Apa Makna Natal Bagimu?



Oleh: Alfrid Uga



LEBIH dari 2.12 milyard umat Nasrani di dunia setiap bulan Desember merayakan Natal, dan sudah 2008 tahun ini hari kelahiran Yesus Kristus tersebut dirayakan. Namun demikian tak semua umatNya memaknai arti Natal itu sama.

Seseorang pernah mengatakan “Natal memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda atau “Christmas means a different thing for a different person”. Penulis berendapat, pernyataan tersebut tidak dapat disangkal.

Perbedaan tersebut kontras terlihat. Orang yang berstatus pejabat negara, misalnya Gubernur, memaknai Natal berarti open house. Kepala dinas, kepala badan di lingkungan SKPD yang dipimpin Gubernur, memaknai Natal berarti sibuk, sibuk mendamping Gubernur menerima tamu di Rumah Jabatan.

Orang kaya memaknai Natal juga punya cara sendiri, pertama soal menu makanan yang super mewah, yang kedua tamu-tamu datang mengucapkan selamat Natal yang diharapkan datang tentu orang-orang dari kalangan kaya. Mereka tak mengharapkan orang miskin yang datang, walapun mereka tak kuasa melarang orang miskin datang bertamu.

Kelompok Pendeta, Penetua Diakon dan aktivis Gereja, memaknai Natal juga berbeda. Pendeta, sibuk pelayanan dan memimpin ibadah Natal di Gereja, Rumah untuk kelompok keluarga tertentu, dan bahkan besar harapan dapat job memimpin ibadah Natal keluarga-keluarga besar, seperti Partai Politik, Perusahan, dan Natal lingkungan pemerintahan. Ini semata karena mengejar honor yang lebih besar.

Bagi Penatua Diakon, dan aktivis Gereja, barangkali Natal berarti melakukan berbagai macam kesibukan, mulai dari menghias Gereja dengan berbagai dekorasi yang indah dan asesoris yang mahal, termasuk menghias pohon terang. Selain itu, ada juga kesibukan paduan suara, latihan drama, latihan menari atau berbagai jenis aktivitas lainnya.

Setda, Asisten, Kepala Biro, Kepala Dinas, Kepala Badan, hingga sampai ke pimpinan proyek, memaknai Natal berarti bagaimana sebanyak-banyaknya memberi bantuan Natal bagi orang yang membutuhkan, meski tak jelas dari mana asal dana yang diberikan.

Begitu sebaliknya, kepada pimpinan masing-masing, mereka rela mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membeli parsel hadiah Natal, atau setidaknya rela membiayai seluruh kebutuhan Natal pimpinannya. Mulai dari pernak-pernik Natal hingga ke menu masakan Natal.

Sikap dermawan, para kpejabat Negara ini sering dimanfaatkan kelopok Jurnalistik dan LSM. Kelompok ini memaknai Natal berarti bulannya Tunjangan Hari Raya (THR). Mereka rela datang dari satu kantor-kekantor yang lainnya memburu THR. Celakanya, pemburu THR tak hanya dari kelompok Nasrani tetapi juga dari kelompok agama lainnya.

Anak-anak kecil, Natal berarti hadiah, di mana pada saat Natal, dia selalu mendapatkan barang baru, seperti baju baru, sepatu baru. Tanpa semua itu, rasanya, Natal belum tiba. Untung pengamalam masa kecil penulis tidak demikian, karena memang kondisi ekonomi tak mungkin menuntut barang serba baru.

Nah itu semua, pertanyaan kritis dapat diberikan. Apakah tanpa semua itu, Natal menjadi tidak sah? Apakah orang-orang yang sibuk, bahkan dapat disebut super sibuk selama Natal telah menjamin adanya Natal yang sejati?
Dalam kenyataannya, tidak demikian.

Ada cukup banyak orang yang setelah sibuk dengan berbagai kegiatan Natal, selain mengalami kelelahan, tidak mengalami apa-apa. Segera setelah Desember lewat dan memasuki Januari, segala kesibukan tersebut berakhir, simbol-simbol Natal, seperti pohon terang pun tidak lagi terlihat, puji-pujianpun jarang terdengar terkecuali di Gereja dan rumah saat ibadah berlangsung.

Dengan demikian apa yang masih tersisa? Barangkali, jawabnya bisa sangat menyedihkan. Tidak ada yang tersisa. Hati kosong, tetap kosong dan bahkan semakin kosong. Orang-orang yang berbuat dosa, tetap berbuat dosa! Dalam kondisi demikian, Natal bukan saja menjadi tidak bermakna, tapi bahkan sesat makna. (***)

Tidak ada komentar: