Perwakilan Warga Runtu Hadiri Pertemuan RSPO di Malaysia
Laporan: Alfrid U
PALANGKA RAYA-Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch Abet Nego Tarigan, dalam siaran persnya menyatakan, setiap perusahaan sawit yang melakukan pembukaan lahan di Indonesia tanpa terlebih dahulu memiliki Hak Guna Usaha (HGU) berarti melakukan kegiatan illegal, oleh karenanya harus ditangkap.
Penegasan perkebunan kelapa sawit tanpa HGU adalah illegal, dikemukakan Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengekata Lahan Badan Pertahanan Nasional (BPN) Iwan Sulanjana, dalam diskusi panel pertemuan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), di Kuala Lumpur Malaysia, Minggu (1/11) lalu.
Menurut Abet Nego Tarigan, seraya kembali mengutip pernyataan Iwan Sulanjana, sering sekali perusahaan kelapa sawit di Indonesia sudah mulai membuka kebun hanya bermodal izin lokasi dan izin usaha perkebunan dari kepala daerah setempat. Padahal izin lokasi itu artinya hanya sebatas perusahaan boleh ada di kawasan tersebut.
Sedangkan izin usaha perkebunan berarti perusahaan boleh buka kebun di tempat tersebut. “Namun tanpa HGU perusahaan jelas tidak punya hak atas tanah. Menurut hukum Indonesia perusahaan sawit sperti itu jelas melanggar hukum,” jelas Abet Nego Tarigan, sebagaimana relies yang disampaikan kepada Radar Sampit perwakilan Palangka Raya, Senin (2/11).
Berdasarkan data BPN, ucap dia, sampai saat ini ada 7,3 juta hektar lahan terlantar di Indonesia. Sebagian besar dari lahan itu sudah mendapat izin lokasi dan izin usaha perkebunan. Tapi tidak dikelola oleh perusahaan karena dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank.
“Perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa memiliki HGU lebih bermotif mendapatkan pinjaman dari dunia perbankan. Anehnya dana pinjaman tadi digunakan untuk berinvestasi di tempat lain. Kejadian seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab konflik lahan di Indonesia,” ucapnya kembali mengutip pernyataan Iwan Sulanjana.
Abet Nego Tarigan sendiri, menanggapi pernyataan Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengekata Lahan BPN, mengungkapkan pokok persoalan lahan di sektor perkebunan sawit di Indonesia diakibatkan oleh tumpang tindah dan pertentangan antar peraturan tentang tanah dan persoalan penegakan hukum.
Dia mencontohkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria no 5 tahun 1960 disebutkan masa berlakunya HGU adalah 25 tahun. Namun di Undang-Undang No 18 tahun 2004 tentang perkebunan dikatakan masa berlakunya HGU selama 35 tahun. Selain itu adalah persoalan penegakan hukum sendiri.
“Bila perusahaan sawit yang membuka kebun tanpa HGU disebut melanggar hukum dan harus ditangkap. Lantas apparatur pemerintah mana yang akan menegakkan peraturan tadi? Padahal data Sawit Watch sendiri, ada banyak perusahaan yang tetap beroperasi meski tidak memiliki HGU,” beber pria asal Sumatra Utara yang akrap disapa Nego ini.
Nego menambahkan, dalam diskusi panel yang diberi judul “HAK ATAS TANAH” tersebut, hadir para pembicara yang terdiri dari Iwan Sulanjana, dia sendiri, Simon Siburat perwakilan dari PT Wilmar Group, Dominique Ng Pengacara Masyarakat Adat Serawak dan Amar Inamdar CAO Bank Dunia.
Hadir juga perwakilan dari masyarakat adat yang juga korban perampasan tanah oleh perushan perkebunan kelapa sawit, yakni Sapuani dan Syahridan, dari Desa Runtu Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah.
Kedua perwakilan dari Kalteng ini, juga diberi kesempatan berbicara menyampaikan permasalah terkait konflik sengketa tanah dengan perusahan perkebunan kelapa sawit PT Surya Sawit Sejati dan PT Mitra Mendawai Sejati anak perusahan PT Tanjung Lingga Group.
“Dalam pertemuan tersebut menyepakati dan mendesak agar RSPO segera membentuk satu kelompok kerja penyelesaian konflik lahan akibat pembangunan kebun sawit. Saya katakana, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi RSPO untuk menghentikan dan menyelesaikan konflik lahan di kebun sawit. Tanpa itu rasanya sulit mengatakan ada produk minyak sawit yang berkelanjutan,” pungkasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar