24 Okt 2009

7,8 Juta Hektar Izin Lokasi Bermasalah

Temuan Tim Terpadu RTRWP Kalteng Bentukan Menhut

Laporan: Alfrid Uga

PALANGKA RAYA-
Pernyataan pemerintah provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) menolak pengesahan RTRWP Kalteng oleh DPR RI, dengan alasan peruntukan kawasan yang direkomendasikan Tim Terpadu tidak sesuai dengen perkembangan wilayah dan takut berdampak hukum terhadap bupati/walikota yang mengeluarkan izin bermasalah.
Dinilai anggota Silvagama Jogjakarta, Rajes, gubernur salah kaprah. Pasalnya, meski Departemen Kehutanan (Dephut) menyetujui RTRWP Kalteng berdasarkan usulan Pemprov Kalteng yang menginginkan 56 persen untuk kehutanan dan 44 persen untuk kepentingan non kehutanan, tidak lantas menghilangkan masalah hukum.
“Kalau memperhatikan pernyataan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, menolak pengesahan RTRWP Kalteng, dengan alasan rekomendasi tim terpadu, 82 persen untuk kehutanan dan 18 persen untuk non kehutanan tidak sesuai dengan perkembangan wilayah, dan takut berdampak hukum terhadap bupati/walikota, itu pernyataan yang salah kaprah,” ujar Timer Manurung, SHut di Palangka Raya, Sabtu (10/10) lalu.
Pria yang akrap disapa Rajes ini, disela-sela perjalanan dinasnya ke Wilayah Kalteng, menyempatkan diri mampir di kantor perwakilan Radar Sampit di Palangka Raya, menandaskan, jika merujuk hasil laporan Tim Terpadu Paduserasi TGHK dan RTRWP Kalteng, menunjukkan adanya tumpang tindih dan ketidaksesuaian pemanfaatan sumberdaya alam seluas 7,8 juta hektar.
“Tumpang tindih terjadi akibat adanya berbagai bentuk perijinan dalam lokasi yang sama, seperti perkebunan dan atau tambang di atas HPH/HTI. Selain itu ketidaksesuaian pemanfaatan lahan terjadi dengan adanya perkebunan di atas hutan negara, baik hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung, dan hutan konservasi. Inilah yang menjadi alasan Dephut menolak usulan RTRWP Kalteng,” tandasnya.
Dia membeberkan, tumpang tindih dan ketidaksesuaian pemanfaatan ini terjadi di seluruh kabupaten/kota di Kalteng, seperti di Barito Utara, di dalam kawasan konsesi HPH Austral Byna terdapat 23 ijin usaha perkebunan, seperti Citra Alam Perdana. Di konsesi yang sama, terdapat juga 43 ijin kuasa pertambangan, seperti PT. Swa Kelola Sukses atau lebih dikenal sebagai Pit Batara.
Kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Seruyan, Bupati Seruyan Darwan Ali mengeluarkan ijin usaha perkebunan kelapa sawit kepada PT. Kalimantan Unggul Centraltama Cemerlang (KUCC) yang kemudian berubah nama menjadi PT. Wana Sawit Subur Lestari (WSSL). Kepada PT. Graha Indosawit Andal Tangguh (GIAT), PT. Borneo Eka Sawit Tangguh (BEST) di dalam hutan negara.
“Terkait dengan tumpang tindihnya perjinan, dan ketidaksesuaian pemanfaatan sumberdaya alam. A Teras Narang lantas ingin menata semua ketidak beresan perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota, termasuk gubernur sebelumnya, dengan merevisi RTRWP Nomor 8 Tahun 2003,” bebernya.
“Untuk menata ketidak beresan perijinan yang diberikan oleh bupati/walikota kepada para investor, bukan kemudian merevisi RTRWP Kalteng. Tetapi yang dibutuhkan adalah penegakan hukum, melestarikan hutan dari konversi akibat penyalahgunaan wewengan oleh bupati/walikota,” tandasnya.
Dikemukakan Rajes, sebelum masuknya revisi RTRWP Kalteng ke Deparetemen Kehutanan (Dephut), Menteri Kehutanan MS Kaban pernah mengingatkan Pemda Kalteng melalui surat Nomor S.225/Menhut-II/07 tanggal 13 April 2007 yang isinya menjelaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan bupati/walikota terancam pidana.
“Gubernur Kalteng sepertinya juga menyadari hal ini, terlihat dari dikeluarkannya surat edaran kepada bupati/walikota se-Kalteng bernomor 540/753/Ek/2008 yang pada bagian akhirnya mengutip pasal pidana perusakan hutan, yakni Pasal 38 ayat (3), Pasal 50 ayat (3) huruf a dan g, dan Pasal 78 UU 41/1999 tentang Kehutanan,” ungkapnya.
Surat edaran gubernur tersebut, ucap Rajes menambahkan. Menegaskan surat gubernur sebelumnya kepada bupati/walikota se-Kalteng bernomor 522.11/1089/EK/2007 pada tanggal 3 Juli 2007 yang isinya meminta penangguhan semua perizinan terkait pemanfaatan kawasan hutan sampai penyempurnaan RTRWP disahkan.
“Akan tetapi, surat ini pun tidak diindahkan. Di Kabupaten Kapuas saja, pasca diteritnya surat edaran gubernur kepada bupati/walikota tentang penangguhan semua perizinan terkait pemanfaatan kawasan hutan sampai penyempurnaan RTRWP disahkan, ternyata oleh bupati diterbitkan 46 ijin eksplorasi tambang pada areal seluas 186.823 hektar,” beber Rajes.
Perilaku konversi hutan oleh bupati di Kalteng ini pun tercermin dalam kerumitanperuntukan di Kawasan PLG yang berada di 4 daerah kabupaten/kota, yakni Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Barito Selatan, dan Palangka Raya. Di kawasan yang dipercepat rehabilitasi dan revitalisasinya berdasarkan Inpres No. 2 tahun 2007 ini bahkan terdapat 23 ijin perkebunan (12 ijin oleh Bupati Kapuas, 10 ijin oleh Bupati Pulang Pisau, 1 ijin oleh Bupati Barito Selatan) dan 13 ijin pertambangan yang dikeluarkan Bupati Kapuas.
“Keseluruhan ijin perkebunan dan pertambangan ini berjumlah 410.936 ha. Artinya, hampir sepertiga dari kawasan ini telah dirubah menjadi peruntukan yang tidak semestinya. Adanya tumpang tindih perijinan ini diakui sebagai permasalah dalam pelaksanaan Inpres No. 2/2007 sebagaimana tertuang dalam laporan Gubernur Kalteng kepada Menteri Kordinator Bidang Perekonomian pada tanggal 28 Februari 2008,” ungkapnya. (*/Radar Sampit)

Tidak ada komentar: