28 Mar 2010

Bisa Pecat Bupati, Gubernur Kalteng Senang

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Kewenangannya didaerah diperkuat. Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang nampak tersenyum, ia-pun menyambut baik atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah.
“Saya lihat produk hukum ini sangat bagus,” ucap guebrnur ketika diminta wartawan tanggapannya terkait terbitnya PP Nomor 19 tahun 20019, di Palangka Raya, Kamis (25/3). Seraya mengatakan, sebelum terbitnya PP tersebut pemerintah pusat telah telah meminta pertimbangan gubernur.
Menurut A. Teras Narang saat ini melalui Menteri Dalam Negeri, gubernur seluruh Indonesia sebagai wakil pemerintah pusat di daerah telah mengajukan usulan tentang mekanisme pemberhentian bupati dan walikota yang melanggar konstitusi dan sumpah jabatannya.
“Kita juga mempertegas dari kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk mengusulkan mekanisme pemecatan bupati/walikota. Karena kewenangan pemecatan itu ada di DPRD, sedangkan gubernur hanya bisa mengusulkan pemecatan,” beber gubernur.
Lebih lanjut dijelaskannya, ada beberap ketentuan bisa memecat seseorang dari jabatannya sebagai bupati/walikota. Yang pertama kepala daerah terbukti melanggar undang-undang dan melanggar sumpah/janji jabatan. “Kalau dia ternyat melanggar undang-undang, dan sudah melalui proses hukum, maka selesai lah di dipecat. Kalau melanggar sumpah janji jabatan, maka selesai jugalah dia diecat” ungkapnya.
Ditanya apakah pemecatan tersebut sah tanpa harus dinyatakan bersalah dalam delik pidana. Guebrnur mengatakan kalau delik pidana, berarti bicara proses hukum. Bicara proses hukum, maka harus ada kekuatan hukum yang tetap. Jika demikian bebarti ada proses hukum di pengadilan, sebelum ke pengadilan ada penyelidikan, dan ada penyidikan oleh aparat penegak hukum.
“Tetapi yang ini hal yang lain lagi. Ini kita berbicara yang sipatnya terkait kewenangan gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Kepala daerah bisa mengusulkan pemecatan terhadap bupati/walikota ke DPRD. Jadi pemecatan hanya ada kewenangan di DPRD, kita hanya mengusulkan,” pungkas gubernur.
Seperti diberitakan, kewenangan gubernur di daerah semakin diperkuat. Setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010 dirilis, Kementerian Dalam Negeri berencana mengajukan mekanisme pemberhentian bupati-wali kota oleh gubernur.
''Nanti kami lihat, bahkan kami susun tata caranya. Tapi, dalam kerangka ini tetap mekanisme yang ada dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang dipakai,'' kata Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sodjuangon Situmorang di sela-sela rapat kerja nasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Hotel Sahid, Jakarta, kemarin (24/3).
Menurut Sodjuangon, UU 32 Tahun 2004 sudah mengakomodasi pemecatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, itu tak bisa dilakukan serta merta. Ada beberapa kondisi yang harus terpenuhi. Di antaranya, tidak mampu menjalankan tugas berkelanjutan secara berturut-turut selama enam bulan, tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah, dan melanggar larangan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah.
Namun, kata Sodjuangon, pemberhentian itu tak bisa secara langsung dilakukan gubernur. Tetap melalui proses di DPRD dan MA. Yakni, diusulkan kepada presiden oleh MA atas pendapat DPRD.
Peran gubernur dalam memberhentikan bupati atau wali kota itu, kata dia, akan dibahas kemudian. Yang jelas, gubernur akan memiliki kewenangan itu. Sebab, gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah memiliki fungsi pengawasan, pembinaan, dan evaluasi terhadap bupati dan wali kota. ''Nanti kami buat tata caranya. Kami mengharapkan itu perpres (peraturan presiden, Red). Mungkin nanti juga peraturan Mendagri,'' katanya.
Sebelumnya, dalam PP Nomor 19 yang keluar tahun ini, gubernur bisa memberikan sanksi kepada bupati-wali kota. Itu berdasar evaluasi kinerja mereka. ''Kalau bagus, diberi penghargaan. Kalau jelek, kan diberi sanksi,'' kata Sodjuangon.
Selain itu, gubernur akan selalu dilibatkan dalam koordinasi dengan instansi vertikal dan pemerintah kabupaten-kota. Itu membuat pemkab-pemkot tak bakal bisa bergerak sendiri. Kementerian sektoral yang melaksanakan pembangunan di wilayah tersebut harus berkoordinasi dengan gubernur.
PP tersebut juga mengatur soal pendanaan. Misalnya, rapat koordinasi antarinstansi vertikal. Rapat itu akan dibiayai dari APBN, bukan APBD. PP itu juga mengubah mekanisme pelantikan gubernur. Gubernur yang biasanya dilantik menteri dalam negeri akan dilantik langsung oleh presiden. Itu sebagai perwujudan perwakilan pemerintah pusat di daerah. (Radar Sampit)

Tidak ada komentar: