10 Feb 2010

Izin Pertambangan dan Perkebunan di Kalteng Ilegal

7 Tahun Perda RTRWP Kalteng Belum Disetujui Mendagri

Laporan: Alfrid U

PALANGKA RAYA-
Selama tujuh tahun tata ruang Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) belum juga disetujui Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pantas saja bila Koalisi Anti Mafia Kahutanan (KAMK) menyebutkan 7,8 juta hektar kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi tambang dan perkebunan adalah illegal.
Pasalnya, hingga saat ini, sejak disahkan DPRD Kalteng tahun 2003 lalu, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2003 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng belum juga disetujui Mendagri. Akibatnya seluruh produk hukum terkait dengan tata ruang, seperti izin perkebunan dan pertambangan, mapun izin lainnya yang dikeluarkan kepala daerah setempat tidak sah alias illegal.
“Kesalahan ini tidak bisa semata-merta ditimpakan kepada kepala daerah maupun pengusaha. Karena mereka merujuk pada Perda Nomor 8 tahun 2003, walapun kita tau Perda tersebut hingga sekarang belum disetujui oleh Mendagri,” beber Mukhtarudin, ketika dihubungi Radar Sampit via telepon, baru-baru ini.
Terkait masalah hukum yang bakal dihadapi pejabat daerah, pengusaha perkebunan dan petambangan di Kalteng saat ini. Menurut Mukhtarudin, anggota DPR RI asal pemilihan Provinsi Kalteng ketika rapat kerja dengan Menteri Kehutanan, pada periode sebelumnya, telah meminta pemerintah agar melakukan pemutihan seluruh perizinan yang bermasalah.
“Saat itu kita minta kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden agar mengeluarkan peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna melegalkan atau memutihkan semua izin tambang dan perkebunan yang berada di kawasan hutan,” ungkapnya.
Dengan di keluarnya Perpu oleh Presiden, ungkapnya, maka tidak ada kekawatiran akan ada banyak kepala daerah dan pengusaha masuk penjara. “Jika tidak investasi di Kalteng tidak berjalan, perusahan banyak tutup. Kalau tutup maka akan menimbulkan banyaknya angka pengangguran, kemiskinan meningkat dan menimbulkan masalah sosial dan sebagainya,” tukas Mukhtarudin.
Lebih lanjut dikemukakannya, dalam kesempatan yang sama ketika bertemu dengan Departemen Kehutanan kala itu, pihaknya juga telah merekomendasikan agar pihak berwenang memproses secara hukum para pejabat daerah dan perusahan nakal, yang telah mengkonfersi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan dan pertambangan yang tidak sesuai dengan UU, terutama izin yang dikeluarkan pasca terbitnya surat edaran gubernur.
“Dalam rekomendasi kita (Komisi IV DPR RI, red), kita meminta aparat berwenang menindak tegas semua pejabat yang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan UU. Terutama izin yang terbit dalam dua tahun ini, pasca terbitnya surat edaran gubernur yang meminta kepala daerah tidak menerbitkan izin, sebelum RTRWP disahkan,” katanya.
Mukhtarudin, putra asli Kotawaringin Barat ini mengaku saat ini posisi Kalteng diibaratkan “buah simalakama”. Sebagai Negara hukum, hukum memang patut ditegakakan. Jadi siapa yang melanggar hukum, harus menerima konsekuensinya.
“Walapun tidak dibenarkan kita membiarkan pelanggaran hukum. Tetapi kita setuju dengan pelanggaran yang dilakukan, diatas ketidak setujuan. Kerna kalau hukum ditegakan tanpa melihat faktor yang lain, maka luar biasa dampaknya kepada Kalteng. Investasi tidak berjalan, pengangguran meningkat, kemiskinan meningkat dan akan menimbul masalah sosial lainnya,” imbuh Mukhtarudin. (*/Radar Sampit)

Tidak ada komentar: