9 Feb 2010

Dua Bupati di Kalteng Dilapor ke KPK

Diduga Terlibat Praktik Korupsi Sektor Kehutanan

JKARTA-
Sejumlah pejabat serta perusahan yang beroperasi di Kalteng, Kamis (4/2) sore di laporkan Koalisi Aanti Mafia Kehutanan (KAMK) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KAMK menuding sejumlah kepala daerah di Kalteng terlibat praktik korupsi di sector kehutanan. Mereka meminta KPK menjadikan kasus tersebut sebagai prioritas penting serta perlu ditangani dengan transparan.
Ketua KAMK Temer Manurung mengungkapkan, 7,8 juta hektar hutan di Kalteng telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit serta areal tambang. “Di provinsi itu (Kalteng, red) seluruh bupati terdata memfasilitasi kerusakan hutan oleh perusahan jahat dengan menerbitkan izin usaha perkebunan dan pertambangan,” kata Timer didampingi teman-teman koalisi di gedung KPK.
Pejabat yang masuk dalam daftar laporan, adalah Bupati Barito Utara, Bupati Seruyan dan Kadishut Provinsi Kalteng. Koalisi ini membeberkan bahwa pejabat tersebut telah melakukan pencaplokan wilayah HPH, seperti PT Antang Ganda Utama, tidak disusut sama sekalai. “Puluhan izin pertambangan yang dikeluarkan bupati Barito Utara diatas lahan konsensi HPH Austral Byna pun bebas melenggang,” ungkap Timer yang didampingi rekan-rekannya di gedung KPK.
Dia menjelaskan menjelaskan korupsi perizinan yang mengakibatkan hilangnya hutan (deforestasi) terjadi karena praktik konversi dan alih fungsi kawasan yang melanggar aturan. Konversi dilakukan dengan merubah hutan menjadi perkebunan dan pertambangan.
Data Save Our Borneo dan Silvagama, lanjutnya, menunjukan adanya pelanggaran ijin perkebunan dan pertambangan yang dikeluarkan seluruh Bupati di Kalteng. Koalisi ini mensinyalir kuat bahwa lemahnya penerapan dan penegakan hukum erat kaitannya dengan pungutan liar.
Sementara data Sawit Watch menyebut biaya penerbitan ijin lokasi untuk setiap hektar Rp 500 juta. Bahkan ditemukan untuk menerbitkan ijin lokasi seluas seribu hektar mengeluakan biaya Rp 3 miliar. “Kami mengharapkan KPK membentuk satu satuan tugas khusus yang fokus menyidik kasus perusakan hutan dan menindak lanjuti sembilan kasus besar dengan estimasi kerugian negara sampai Rp 6,66 triliun,” tegas Timer.
Ia menambahkan otonomi daerah kini berlangsung kebablasan. Menurut Timer pejabat daerah berdalih bahwa kawasan itu masuk kawasan hutan produksi, padahal RTRWP belum sah karena belum padu serasi dengan TGHK Dephut. “Artinya ini menunjukan pelanggaran hukum oleh Bupati di Kalteng. Kami menduga Pak MS Kaban, terlibat dalam pelepasan kawasan,” paparnya.
Dikatakan Timer, upaya penegakan hukum melalui Polisi, Kejaksaan dan Departemen Kehutanan belum bisa diharapkan. Misalnya terkait rencana Kejati Kalteng mengusut dugaan korupsi di Kabupaten Murung Raya yang melibatkan dana sampai Rp 110 triliun lebih.
“Saya khawatirnya Kabupaten Murung Raya itu jauh, akses ke sana sulit, artinya monitoring publik minim sekali, saya khawatir kalau tidak ada dimonitor, benar-benar intensif, maka itu patut diduga cara pihak kejaksaan mendapat uang,” kata Timer.
Ia menyebut dalam kejahatan kehutanan dan pertambangan ratusan triliun itu tidak aneh sebenarnya. Karena itu, salah satu sebab kenapa KPK harus masuk menuntaskan mafia kehutanan dan pertambangan. “Bandingkan dengan penuntasan kasus korupsi DPR hanya satu atau dua miliar. Lebih sedikit dari pengungkapan kasus kehutanan,” pungkasnya.(*/Radar Sampit)

Tidak ada komentar: