Setelah Di Desak oleh Komnas HAM
Laporan: Alfrid U
PALANGKA RAYA-Tragedi di Desa Runtu, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) tahun 2005 lalu kembali di sorot Komnas HAM. Komisioner Sub Komisi Komnas HAM John Nelson Simanjuntak, Shmendesak agar Pemprov Kalteng menyelesaikan kasus tersebut.
Ini disampaikan Tim Komnas HAM dalam pertemuan dengan Pemprov Kalteng yang dipimpin Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran di Palangka Raya, Rabu (16/6). “Kami ingin menanyakan tentang kebijakan investasi di bidang perkebunan yang terdapat indikasi pelanggaran HAM, terutama perkebunan sawit, seperti di Desa Natai Baru dan Natai Raya (Kobar). Sebagian besar konflik terjadi antara pengusaha dan masyarakat dan ada beberapa konflik yang belum selesai hingga kini,” kata John Nelson Simanjuntak SH, komisioner subkomisi pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM.
Menurut John, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung ke Kobar terkait permasalahan perampasan lahan transmigrasi di Desa Natai Baru dan Natai Raya Kecamatan Arut Selatan oleh beberapa perusahaan. Selain itu, pihaknya juga menerima pengaduan dari masyarakat agar Komnas HAM mengakomodir penyelesaian permalahan itu.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Gubernur Kalteng Achmad Diran mengatakan, pihaknya akan bertindak tegas kepada perusahaan yang menyengsarakan rakyat, bahkan, tidak segan untuk mencabut izin investasi perusahaan perkebunan itu. Apabila terbukti melakukan pelanggaran HAM.
“Saya juga pernah meminta pihak perkebunan untuk mengembalikan lahan yang dirampas kepada masyarakat walaupun akibatnya saya harus kehilangan suara saat pemilukada di daerah itu, tapi, akhirnya perusahaan itu mengembalikan tanah kepada rakyat dan rakyat yang menang” katanya seraya menambahkan, Ia juga sering meminta kepada masyarakat untuk tidak menjual lahan kepada investor meski diiming-imingi sejumah uang.
“Pemprov juga telah menginstruksikan kepada Bupati/Walikota se-Kalteng untuk tidak menganggu gugat tanah milik rakyat. Sekarang tanah milik rakyat di Kalteng sedang di inventarisir untuk didata, jumlah dan luas lahannya untuk dibuatkan surat keterangan dari Demang,” timpalnya.
Sementara itu, Asisten III Siun menambahkan, masyarakat lokal di Kalteng selalu menjadi pihak yang kalah dalam konflik lahan. Pasalnya, warga lokal tidak memiliki bukti otentik terhadap kepemilikan tanahnya, sementara perusahaan sudah mengantongii izin yang sah dari pemerintah daerah.
“Apabila masyarakat melapor ke aparat telah terjadi perampasan lahan, malah dikira memeras. Memang apabila dilihat dari sisi hukum itu pemerasan, tapi kalau dari sisi tradisi, memang hal itu sudah menjadi hak milik masyarakat warisan leluhurnya,” tegasnya.
Selain membahas masalah perampasan lahan, Tim Komnas HAM juga mempertanyakan modus penyelesaian konflik etnis di Sampit beberapa tahun silam perlakuan terhadap agama minoritas di Kalteng seperti agama Kaharingan yang hingga kini ingin mendapat status yang sah dari pemerintah terkait keberadaannya. (ga/Radar Sampit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar